Jumat, 19 Oktober 2012

SUMBER-SUMBER HUKUM PARA IMAM MAZHAB


A.Ushul Mazhab Menurut Mazahib Arba’ah
1.    IMAM ABU HANIFAH
Dalam menetapkan sebuah hukum islam, Imam Hanafi menggunakan metode ra’yu dan lebih berhati-hati menerima hadits, karena pada masanya saat itu banyak sekali bertebaran hadits –hadits palsu. Thaha Jabir membagi cara ijtihad Abu Hnaifah, yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang tambahan. Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya,maka ia akan merujuk pada qaul sahabat,  dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki. Adapun sumber hukum  ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan yaitu ia mendahulukan qyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan. Dan ia akan menggunakan istihsan sebagai salah satu  sumber hukum tambahan.

2.    IMAM MALIK BIN ANAS
Beliau terkenal dengan ahl al hadits  dalam mengistinbathkan hukum islam. Kitab pegangannya yang popular adalah al muwatha. Adapun sumber hukum Imam malik dalam berijtihad selain menggunakan alquran, sunnah, ijma , dan qiyas, beliau juga menggunakan dalil amal ahlul madinah, qaul shahabi , khabar ahad, istihsan dan maslahah mursalah sebagai landasannya.
a.Alquran
Dalam berpegangan pada al-qur’an, beliau melakukan pengambilan hukum berdasarkan atas zhahir nash al-qur’an atau keumumannnya, meliputi mafhum al mukhalafah dan mafhum al aula dengan memperhatikan illatnya.

b.Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama ketika berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zhahir Qur’an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir al-Qur’an. Tetapi apabila makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijmak ahl madinah maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al- Qur’an.
c. Ijma’ ahl madinah
Ijma’ ahl madinah ada beberapa macam , yaitu :
1.      ijmak ahl madinah yang asalnya dari al naql, hasil dari mencontoh rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl almadinah. Seperti penentuan tempat mimbar nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
2.      Amalan al madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh imam malik, karena hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang bertentangan dengan sunnah Rasullullah SAW.
3.      Amalan ahl madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk  mentarjih salah satu dari kedua dalil , ahl madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah
4.      Amalan ahl madinah sesudah masa keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini bukan hujjah menurut mazhab maliki
d .Qaul Shahabi
Yang dimaksud sahabat disini ialah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan qaul shahabi berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar yang dipahami dari rasulullah.
e. Khabar Ahad
Dalam menggunakan khabar Ahad, Imam Malik tidak konsisten. Sebab terkadang ia lebih mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Misalnya, bila khabar ahad tersebut tidak dikenal oleh kalangan masyarakat Madinah, ini berarti khabar ahad itu tidak benar dari Rasulullah SAW. Maka, khabar ahad itu tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi beliau akan menggunakan qiyas dan maslahah.
f. Al- Istishan
Menurut mazhab Maliki Al- Istishan adalah menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh). Dalam istilah lain, Istishan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkannya. Tegasnya, istishan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum, yakni jangan sampai suatu ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu hukum harus mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
Menurut mazhab Maliki, istishan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari suatu dalil ke dalil lain yang lebih kuat. Dalam kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj wa al-Masyaqah (menghindarkan kesempitan yang telah diakui syari’at kebenarannya).
g. Maslahah al- Mursalah
Maslahah al- Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka berarti Maslahah al- Mursalah kembali pada memelihara tujuan syari’at yang diturunkan. Adapun tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-qur’an dan sunnah.



3.    IMAM SYAFI’I
Pada awalnya Imam Syafi’i mengikuti ra’yu dalam berijtihad, tetapi kemudian beliau berpindah pada metode ahl al-hadits sebagaimana dalam perkataannya  Apabila hadis itu shahih maka itulah pendapatku”. Adapun sumber hukum yang digunakannnya untuk berijtihad adalah al-qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Beliau menolak istishan sebagaimana dengan panjang lebar ia menguraikan pendapatnya bahwa jika seseorang diperbolehkan menggunakan istishan dalam agama maka setiap orang akan dapat membuat syari’at sendiri. Imam Syafi’i menolak istishan yang tidak memiliki sandaran sama sekali.
            Dalam istinbath hukum , Imam Syafi’i menempuh cara bahwa apabila di dalam al-qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka ia menggunakan hadist mutawatir, jika tidak ditemukan maka ia menggunakan khabar ahad. Dan jika tidak ditemukan dalam semua itu, ia mencarinya berdasarkan zahir al-qur’an dan sunnah yang shahih secara berturut. Dan jika tidak ditemukan pula, maka ia mencari pada ijma’para ulama sahabat. Adapun syarat penggunaan khabar ahad menurutnya ialah perawi tersebut haruslah terpercaya, berakal, dhabit, benar-benar mendengar sendiri hadis tersebut dan tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil hukum ialah ijma’ sharih.
            Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil keempat setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam menetapkan hukum. Beliau menetapkan metode dalam melakukan qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau merujuk pada firman Allah surat An-Nisa ayat : 59 yang artinya “……..kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-qur’an) dan kepada Rasul (sunnah)…”, maksudnya, qiyaskanlah kepada salah satu dari Al-qur’an atau sunnah.  Menurut imam Syafi’I, ashl tidak boleh  diqyAKn kepada ashl. Keduanya hanya dipertanyakan kepada cabang. Maka qyas akan menjadi hujjah jika pengqyasannya benar.



4.    IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahl hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu al-Qur’an, sunnah, qaul sahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
       Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, ia tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul sahabat, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
       Apabila dalam nash qur’an dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
B.Contoh Kasus Menurut Ushul Mazhab Mazahib Arba’ah
Penetapan Hukuman Zina
Allah berfirman QS.An Nisa 16:
Artinya : Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
 
Artinya : Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya .( QS.An Nisa 15 )
Ketetapan Allah swt. Mengenai hukuman zina pada kedua ayat tersebut diatas , adalah pada masa-masa turunnya agama islam. Kemudian setelah masyarakat islam semakin mantap dan iman kaum muslimpun semakin tebal, maka kemudian Allah berfirman :
 
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(QS.Annur 2 )
Selanjutnya para imam sepakat bahwa perjaka atau perawan yang melakukan zina masing-masing dihukum dera berdasarkan firman Allah tersebut diatas. Namun, yang menjadi perselisihan diantara kalangan mereka ialah, apakah disamping hukuman dera keduanya masih harus diasingkan dari negerinya  atau tidak ?
Menjawab persoalan diatas, maka kemudian Imam Hanafi berpendapat berdasarkan istihsannya yaitu: hukuman dera itu tidak perlu ditambah dengan pengasingan, kecuali bila dipandang baik menurut pemerintah, barulah boleh ditambahkan sejauh yang baik pula.
Kemudian imam Maliki berpendapat bahwa perjaka merdeka sajalah yang kalau berzina kemudian wajib diasingkan, sedang perawan merdeka bila berzina tidaklah perlu diasingkan , karena beliau bersandar pada hadits yang menyatakan bahwa betapapun “ wanita itu adalah aurat “
Selanjutnya kemudian barulah imam Syafi’I dan imam Ahmad bin Hanbali berpendapat bahwasanya dera dan pengasingan itu sama-sama wajib dikenakan. Hal ini berdasarkan Hadits riwayat Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Artinya :  bahwa seorang laki-laki badwi datang kepada rasulullah lalu berkata “ ya Rasulullah saya harap tuan putuskan atas diri saya dengan kitab Allah “.Kemudian berkata laki-laki lain yang agaknya dia lebih alim daripadanya “ Benar, putusilah kami dengan kitab Allah, dan izinkanlah saya mengutarakan pengaduan kami . “Katakanlah”,sabda rasul. Laki-laki itu mengutarakan pengaduannya, “sesungguhnya anak saya menjadi buruh orang ini , lalu berzina dengan istrinya”. Dan saya mendengar kabar bahwa anaka saya harus dirajam.Olehkarena itu sayas bermaksud menebusnysa dengan seratus kambing dan seorang budak perempuan. Lalu saya tanyakan kepada  orange alim , namun mereka memberi tahu bahwa anakku itu hanya patut didera seratus kali dan diasingkan setahun, padahal seharusnya istri orang inilah yang seharusnya dirajam. Rasulullah kemudian bersabda “ Demi Allah yang menguasai diriku, aku sungguh akan memutusi kalian  berdua dengan kitab Allah :  Budak perempuan dan kambing itu kembali padamu. Dan anakmu didera seratus kali dan diasingkan satu tahun. Dan pergilah engkau hai unais kepada istri orang ini kalau ia mengaku maka rajamlah.Perawi hadits mneceritakan bahwa  unais pergi menemui istri orang badwi, dan ternyata ia mengakui perbuatannya.Maka Rasulullah saw pun menyuruh wanita itu dirajam. ( HR.Bukhari Muslim )  



2. Pengguguran Janin Sebelum Peniupan Ruh
            Mengenai hukum menggugurkan janin sebelum peniupan ruh, tidak ada nash yang secara langsung meyebutkannya baik al-Qur’an maupun hadits. Maka tidak diragukan lagi bahwa masalah ini masuk dalam wilayah yang diperkenankan oleh kaidah syariat untuk dilakukan ijtihad terhadapnya. Inilah yang dipahami oleh fuqoha islam klasik (mazhahib al-arba’ah). Mereka telah melakukan ijtihad didalamnya dan mereka berselisih pendapat dalam masalah ini. Adapun pendapat setiap mazhab tersebut antara lain:
  1. Mazhab Hanafi
Mazhab ini mengharamkan pengguguran janin sebelum peniupan ruh , dengan alasan karena janin merupakan yang nantinya bakal menjadi manusia. Seperti ibarat seseorang sedang ihram, ia tidak boleh memecahkan telur binatang buruan , maka jika itu dilakukan , maka ia akan tetap mendapatkan hukuman, karena telur itu adalah bakal binatang buruan. Begitu pula orang yang menggugurkan janin. Namun demikian, kelompok ini tetap membolehkan pengguguran janin jika adanya alasan yang dapat diterima. Diantar alasan  ( udzur ) tersebut ialah terputusnya susu ibu setelah kehamilan, dan kedua orang tua bayi tidak mampu untuk menyusukannya kepada oranglain sehingga takut anaknya kelak  akan mati.
  1. Mazhab Maliki
Menurut mazhab maliki pengguguran janin sebelum peniupan ruh adalah haram.Mereka berpendapat bahwa jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh menggugurkan janin, menurut pendapat ibnul arabi karena seoarang anak itu memiliki tiga keadaan :
1.    Keadaan sebelum percampuran antara sperma dan ovum
2.    Keadaan setelah rahim menangkap sperma
3.    Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan bentuk
Berdasarkan tiga keadaan diatas, mazab Maliki berpendapat dalam istihsannya bahwa akan diberi rukhsah bagi pengguguran janin sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari perbuatan zina dan khususnya jika si wanita takut akan dibunuh jika ketahuan hamil.


  1. Mazhab Syafi’i
Adapun menurut mazhzab Syafii, hukum pengguguran janin sebelum peniupan ruh adalah boleh karena ada udzur / alasan yang rasional. Karena pada dasarnya, janin itu merupakan pembentukan yang berasal dari sperma dan ovum yang telah menyatu, sehingga secara hukum, ini ibarat jalannya ijab qabul dalam jual beli. Barangsiapa melakukan jual beli, kemudian ia menarik kembali tawarannya sebelum terjadi penerimaan tawaran maka hal itu tidak termasuk merusak akad, namun jika akad ijab qabul telah terbentuk, dan ia menggugurkan/membatalkan akad, maka ia merusak akad. Begitu pula halnya dengan pengguguran janin sebelum peniupan ruh.  Oleh karena itu,maka tidak diharamkan menggugurkan janin itu kecuali setelah peniupan ruh.
  1. Mazhab Hanbali
Menurut mazhab hanbali, pengguguran janin sebelum peniupan ruh itu tidak dianggap sebagai pembunuhan terhadap jiwa manusia dan ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah tentang tidak dimandikan dan dishalatinya janin yang mati  karena belum berusia empat bulan . Hadits tersebut berisi bahwa “ tidak ditiupkan roh  kecuali setelah janin berusia empat bulan, maka sebelum itu dia tidak disebut jiwa”. Dari hadits tersebut,maka dapat dipahami bahwasanya pengguguran janin sebelum peniupan ruh itu makruh hukumnya karena pada dasarnya manusia harus  berhati-hati, karena bisa saja salah dalam penghitungan fase kehamilan.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Dari penjelasan yang telah  diuraikan pada bab pembahasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwasanya masing-masing imam mazhab memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dalam menjadikan suatu sumber sebagai landasan dalam penetapan hukum. Adapun persamaan yang dapat dilihat dari masing-masing mazhab yaitu mereka sama-sama mengedepankan Alqur’an dan hadits sebagai sumber yang utama. Namun dalam penilaian keshahihan ataupun kedhaifan sebuah hadits, mereka berbeda-beda. Sedangkan perbedaan yang paling tampak ialah dalam Perbedaan mereka dalam menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil –dalil yang diperselisihkan. Misalnya, kalau Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai salah satu sumber, maka imam Syafi’I menolaknya. Adanya perbedaan –perbedaan dalam penetapan sumber hukum yang diperselisihkan sebagai landasan penetapan hukum, ini karena disebabkan  Perbedaan waktu, tempat dan kondisi para imam maupun Perbedaan mereka dalam mensikapi dalil-dalil yang kelihatan kontradiktif. Oleh karena itu, sebagai umat muslim, kita harus dapat mensikapi secara bijak adanya perbedaan – perbedaan hukum yang ditetapkan oleh masing-masing mazhab. Janganlah hendaknya kita terlalu fanatic dan menganggap bahwa pendapat mazhab yang kita anut itu adalah yang paling benar. Karena , kebenaran itu hanyalah satu, yaitu kebenaran Allah. Oleh karena itu, jika kita dihadapkan pada permasalahan kontemporer  yang belum ada hukumnya secara jelas, maka berijtihadlah agar kita tidak termasuk menjadi orang yang bertaklid buta.





DAFTAR PUSTAKA
1.    DR.Huzaemah Tahido “ Pengantar Perbandingan Mazhab “, Jakarta: Logos 1997
2.    K.H. Moenawar Chalil “Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab” Jakarta: Bulan Bintang,1990
3.    Prof.Dr.Muhaimin, MA,dkk “ Kawasan dan wawasan studi islam “Jakarta : Kencana, 2005
4.    Drs.Supiana, “ Materi Pendidikan Agama Islam “ , Bandung : Rosdakarya,2001
5.    Ibrahim Muhammad al Jamal “ Fikih Wanita “ , Semarang : CV.Asy Syifa’ 1981
6.    Dr.M.Nu’aim Yasin, “ Fikih Kedokteran “ , Jakarta : Pustaka al Kautsar,2001

1 komentar:

  1. Hampir sama ya istinbath imam syafii dan imam hanafi. Yg membedakan pada istihsan dan istishab. Terimakasih.. Infonya detail sekali.

    BalasHapus