A.Ushul
Mazhab Menurut Mazahib Arba’ah
1. IMAM ABU HANIFAH
Dalam
menetapkan sebuah hukum islam, Imam Hanafi menggunakan metode ra’yu dan
lebih berhati-hati menerima hadits, karena pada masanya saat itu banyak sekali
bertebaran hadits –hadits palsu. Thaha Jabir membagi cara ijtihad Abu Hnaifah,
yaitu cara ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang tambahan. Adapun sumber
hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam
Alquran, ia merujuk pada sunnah rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan
oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya,maka ia
akan merujuk pada qaul sahabat, dan
apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun
yang ia kehendaki. Adapun sumber
hukum ijtihad Abu Hanifah yang bersifat
tambahan yaitu ia mendahulukan qyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan.
Dan ia akan menggunakan istihsan sebagai salah satu sumber hukum tambahan.
2. IMAM MALIK BIN ANAS
Beliau
terkenal dengan ahl al hadits
dalam mengistinbathkan hukum islam. Kitab pegangannya yang popular
adalah al muwatha. Adapun sumber hukum Imam malik dalam berijtihad selain
menggunakan alquran, sunnah, ijma , dan qiyas, beliau juga menggunakan dalil
amal ahlul madinah, qaul shahabi , khabar ahad, istihsan dan maslahah mursalah sebagai
landasannya.
a.Alquran
Dalam
berpegangan pada al-qur’an, beliau melakukan pengambilan hukum berdasarkan atas
zhahir nash al-qur’an atau keumumannnya, meliputi mafhum al mukhalafah dan
mafhum al aula dengan memperhatikan illatnya.
b.Sunnah
Dalam
berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang sama
ketika berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya
pentakwilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila
terdapat pertentangan antara makna zhahir Qur’an dengan makna yang terkandung
dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zhahir al-Qur’an. Tetapi apabila
makna yang terkandung dalam sunnah tersebut dikuatkan oleh ijmak ahl madinah
maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zhahir al-
Qur’an.
c.
Ijma’ ahl madinah
Ijma’
ahl madinah ada beberapa macam , yaitu :
1. ijmak ahl madinah yang asalnya dari al
naql, hasil dari mencontoh rasulullah, bukan hasil ijtihad ahl almadinah. Seperti
penentuan tempat mimbar nabi Muhammad. Ijmak semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam
Malik.
2. Amalan al madinah sebelum terbunuhnya Utsman
bin Affan. Ijmak ini dijadikan hujjah oleh imam malik, karena hal ini
didasarkan bahwa belum pernah diketahui pada masa itu yang bertentangan dengan
sunnah Rasullullah SAW.
3. Amalan ahl madinah yang dijadikan
pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan. Artinya
apabila ada dua dalil yang bertentangan maka untuk mentarjih salah satu dari kedua dalil , ahl
madinah itulah yang dijadikan sebagai hujjah
4. Amalan ahl madinah sesudah masa
keutamaaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan ahl madinah seperti ini
bukan hujjah menurut mazhab maliki
d
.Qaul Shahabi
Yang
dimaksud sahabat disini ialah sahabat besar yang pengetahuan mereka terhadap
suatu masalah itu didasarkan pada naql. Ini berarti bahwa yang dimaksud dengan
qaul shahabi berwujud hadits-hadits yang wajib diamalkan. Menurut Imam Malik,
para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar yang
dipahami dari rasulullah.
e.
Khabar Ahad
Dalam
menggunakan khabar Ahad, Imam Malik tidak konsisten. Sebab terkadang ia lebih
mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Misalnya, bila khabar ahad tersebut
tidak dikenal oleh kalangan masyarakat Madinah, ini berarti khabar ahad itu
tidak benar dari Rasulullah SAW. Maka, khabar ahad itu tidak digunakan sebagai
dasar hukum, tetapi beliau akan menggunakan qiyas dan maslahah.
f.
Al- Istishan
Menurut
mazhab Maliki Al- Istishan adalah menurut hukum dengan mengambil
maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh).
Dalam istilah lain, Istishan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang
dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkannya. Tegasnya,
istishan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum, yakni jangan sampai suatu
ketentuan hukum membawa dampak merugikan. Dampak suatu hukum harus mendatangkan
manfaat dan menghindarkan mudharat.
Menurut
mazhab Maliki, istishan bukan berarti meninggalkan dalil dan bukan berarti
menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari suatu dalil
ke dalil lain yang lebih kuat. Dalam kaidah fiqiyah disebut raf’ul al- Haraj
wa al-Masyaqah (menghindarkan kesempitan yang telah diakui syari’at
kebenarannya).
g.
Maslahah al- Mursalah
Maslahah
al- Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat
atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka berarti
Maslahah al- Mursalah kembali pada memelihara tujuan syari’at yang diturunkan.
Adapun tujuan syari’at diturunkan dapat diketahui melalui al-qur’an dan sunnah.
3. IMAM SYAFI’I
Pada
awalnya Imam Syafi’i mengikuti ra’yu dalam berijtihad, tetapi kemudian beliau
berpindah pada metode ahl al-hadits sebagaimana dalam perkataannya “Apabila hadis itu shahih maka itulah
pendapatku”. Adapun sumber hukum yang digunakannnya untuk berijtihad adalah
al-qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Beliau menolak istishan sebagaimana dengan
panjang lebar ia menguraikan pendapatnya bahwa jika seseorang diperbolehkan
menggunakan istishan dalam agama maka setiap orang akan dapat membuat syari’at
sendiri. Imam Syafi’i menolak istishan yang tidak memiliki sandaran sama sekali.
Dalam istinbath hukum , Imam Syafi’i menempuh cara bahwa
apabila di dalam al-qur’an tidak ditemukan dalil yang dicari maka ia
menggunakan hadist mutawatir, jika tidak ditemukan maka ia menggunakan khabar
ahad. Dan jika tidak ditemukan dalam semua itu, ia mencarinya berdasarkan zahir
al-qur’an dan sunnah yang shahih secara berturut. Dan jika tidak ditemukan pula,
maka ia mencari pada ijma’para ulama sahabat. Adapun syarat penggunaan khabar
ahad menurutnya ialah perawi tersebut haruslah terpercaya, berakal, dhabit,
benar-benar mendengar sendiri hadis tersebut dan tidak menyalahi para ahli ilmu
yang juga meriwayatkan hadis tersebut. Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai
dalil hukum ialah ijma’ sharih.
Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil
keempat setelah al-Qur’an, sunnah dan ijma’ dalam menetapkan hukum. Beliau
menetapkan metode dalam melakukan qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau
merujuk pada firman Allah surat
An-Nisa ayat : 59 yang artinya “……..kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (al-qur’an) dan kepada Rasul (sunnah)…”,
maksudnya, qiyaskanlah kepada salah satu dari Al-qur’an atau sunnah. Menurut imam Syafi’I, ashl tidak boleh diqyAKn kepada ashl. Keduanya hanya
dipertanyakan kepada cabang. Maka qyas akan menjadi hujjah jika pengqyasannya
benar.
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode ahl hadits
dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan
yaitu al-Qur’an, sunnah, qaul sahabi yang tidak bertentangan, hadis mursal,
hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis
mursal atau hadis dhaif daripada qiyas. Sebab, ia tidak akan menggunakan qiyas
kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul
sahabat, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila
dalam nash qur’an dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau
menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara
mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan
hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya.
B.Contoh
Kasus Menurut Ushul Mazhab Mazahib Arba’ah
Penetapan
Hukuman Zina
Allah berfirman QS.An Nisa 16:
Artinya
: Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka
berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan
memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
Artinya : Dan (terhadap) para
wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya
.( QS.An Nisa 15 )
Ketetapan Allah swt. Mengenai hukuman zina pada
kedua ayat tersebut diatas , adalah pada masa-masa turunnya agama islam.
Kemudian setelah masyarakat islam semakin mantap dan iman kaum muslimpun
semakin tebal, maka kemudian Allah berfirman :
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(QS.Annur 2 )
Selanjutnya
para imam sepakat bahwa perjaka atau perawan yang melakukan zina masing-masing
dihukum dera berdasarkan firman Allah tersebut diatas. Namun, yang menjadi
perselisihan diantara kalangan mereka ialah, apakah disamping hukuman dera
keduanya masih harus diasingkan dari negerinya
atau tidak ?
Menjawab
persoalan diatas, maka kemudian Imam Hanafi berpendapat berdasarkan istihsannya
yaitu: hukuman dera itu tidak perlu ditambah dengan pengasingan, kecuali bila
dipandang baik menurut pemerintah, barulah boleh ditambahkan sejauh yang baik
pula.
Kemudian
imam Maliki berpendapat bahwa perjaka merdeka sajalah yang kalau berzina
kemudian wajib diasingkan, sedang perawan merdeka bila berzina tidaklah perlu
diasingkan , karena beliau bersandar pada hadits yang menyatakan bahwa
betapapun “ wanita itu adalah aurat “
Selanjutnya kemudian barulah imam
Syafi’I dan imam Ahmad bin Hanbali berpendapat bahwasanya dera dan pengasingan
itu sama-sama wajib dikenakan. Hal ini berdasarkan Hadits riwayat Abu Hurairah
dan Zaid bin Khalid Artinya : bahwa
seorang laki-laki badwi datang kepada rasulullah lalu berkata “ ya Rasulullah
saya harap tuan putuskan atas diri saya dengan kitab Allah “.Kemudian berkata
laki-laki lain yang agaknya dia lebih alim daripadanya “ Benar, putusilah kami
dengan kitab Allah, dan izinkanlah saya mengutarakan pengaduan kami .
“Katakanlah”,sabda rasul. Laki-laki itu mengutarakan pengaduannya, “sesungguhnya
anak saya menjadi buruh orang ini , lalu berzina dengan istrinya”. Dan saya
mendengar kabar bahwa anaka saya harus dirajam.Olehkarena itu sayas bermaksud
menebusnysa dengan seratus kambing dan seorang budak perempuan. Lalu saya
tanyakan kepada orange alim , namun
mereka memberi tahu bahwa anakku itu hanya patut didera seratus kali dan
diasingkan setahun, padahal seharusnya istri orang inilah yang seharusnya
dirajam. Rasulullah kemudian bersabda “ Demi Allah yang menguasai diriku, aku
sungguh akan memutusi kalian berdua
dengan kitab Allah : Budak perempuan dan
kambing itu kembali padamu. Dan anakmu didera seratus kali dan diasingkan satu
tahun. Dan pergilah engkau hai unais kepada istri orang ini kalau ia mengaku
maka rajamlah.Perawi hadits mneceritakan bahwa
unais pergi menemui istri orang badwi, dan ternyata ia mengakui
perbuatannya.Maka Rasulullah saw pun menyuruh wanita itu dirajam. ( HR.Bukhari
Muslim )
2.
Pengguguran Janin Sebelum Peniupan Ruh
Mengenai hukum menggugurkan janin
sebelum peniupan ruh, tidak ada nash yang secara langsung meyebutkannya baik
al-Qur’an maupun hadits. Maka tidak diragukan lagi bahwa masalah ini masuk
dalam wilayah yang diperkenankan oleh kaidah syariat untuk dilakukan ijtihad
terhadapnya. Inilah yang dipahami oleh fuqoha islam klasik (mazhahib al-arba’ah).
Mereka telah melakukan ijtihad didalamnya dan mereka berselisih pendapat dalam
masalah ini. Adapun pendapat setiap mazhab tersebut antara lain:
- Mazhab Hanafi
Mazhab ini mengharamkan pengguguran janin sebelum peniupan
ruh , dengan alasan karena janin merupakan yang nantinya bakal menjadi manusia.
Seperti ibarat seseorang sedang ihram, ia tidak boleh memecahkan telur binatang
buruan , maka jika itu dilakukan , maka ia akan tetap mendapatkan hukuman,
karena telur itu adalah bakal binatang buruan. Begitu pula orang yang
menggugurkan janin. Namun demikian, kelompok ini tetap membolehkan pengguguran
janin jika adanya alasan yang dapat diterima. Diantar alasan ( udzur ) tersebut ialah terputusnya susu ibu
setelah kehamilan, dan kedua orang tua bayi tidak mampu untuk menyusukannya
kepada oranglain sehingga takut anaknya kelak
akan mati.
- Mazhab Maliki
Menurut
mazhab maliki pengguguran janin sebelum peniupan ruh adalah haram.Mereka
berpendapat bahwa jika rahim telah menangkap air mani, maka tidak boleh
menggugurkan janin, menurut pendapat ibnul arabi karena seoarang anak itu
memiliki tiga keadaan :
1. Keadaan sebelum percampuran antara
sperma dan ovum
2. Keadaan setelah rahim menangkap sperma
3. Keadaan setelah janin mencapai kesempurnaan
bentuk
Berdasarkan
tiga keadaan diatas, mazab Maliki berpendapat dalam istihsannya bahwa akan diberi
rukhsah bagi pengguguran janin sebelum peniupan ruh jika janin itu hasil dari
perbuatan zina dan khususnya jika si wanita takut akan dibunuh jika ketahuan
hamil.
- Mazhab Syafi’i
Adapun menurut mazhzab Syafii, hukum pengguguran
janin sebelum peniupan ruh adalah boleh karena ada udzur / alasan yang
rasional. Karena pada dasarnya, janin itu merupakan pembentukan yang berasal
dari sperma dan ovum yang telah menyatu, sehingga secara hukum, ini ibarat jalannya
ijab qabul dalam jual beli. Barangsiapa melakukan jual beli, kemudian ia
menarik kembali tawarannya sebelum terjadi penerimaan tawaran maka hal itu
tidak termasuk merusak akad, namun jika akad ijab qabul telah terbentuk, dan ia
menggugurkan/membatalkan akad, maka ia merusak akad. Begitu pula halnya dengan
pengguguran janin sebelum peniupan ruh.
Oleh karena itu,maka tidak diharamkan menggugurkan janin itu kecuali
setelah peniupan ruh.
- Mazhab Hanbali
Menurut mazhab hanbali, pengguguran
janin sebelum peniupan ruh itu tidak dianggap sebagai pembunuhan terhadap jiwa
manusia dan ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah tentang tidak dimandikan
dan dishalatinya janin yang mati karena belum
berusia empat bulan . Hadits tersebut berisi bahwa “ tidak ditiupkan roh kecuali setelah janin berusia empat bulan,
maka sebelum itu dia tidak disebut jiwa”. Dari hadits tersebut,maka dapat
dipahami bahwasanya pengguguran janin sebelum peniupan ruh itu makruh hukumnya
karena pada dasarnya manusia harus
berhati-hati, karena bisa saja salah dalam penghitungan fase kehamilan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
dan Saran
Dari penjelasan yang telah diuraikan pada bab pembahasan diatas, maka
penulis menyimpulkan bahwasanya masing-masing imam mazhab memiliki beberapa
persamaan dan perbedaan dalam menjadikan suatu sumber sebagai landasan dalam
penetapan hukum. Adapun persamaan yang dapat dilihat dari masing-masing mazhab yaitu
mereka sama-sama mengedepankan Alqur’an dan hadits sebagai sumber yang utama. Namun
dalam penilaian keshahihan ataupun kedhaifan sebuah hadits, mereka
berbeda-beda. Sedangkan perbedaan yang paling tampak ialah dalam Perbedaan
mereka dalam menggunakan dalil-dalil mukhtalaf, yaitu dalil –dalil yang
diperselisihkan. Misalnya, kalau Abu Hanifah menggunakan istihsan sebagai salah
satu sumber, maka imam Syafi’I menolaknya. Adanya perbedaan –perbedaan dalam
penetapan sumber hukum yang diperselisihkan sebagai landasan penetapan hukum,
ini karena disebabkan Perbedaan waktu,
tempat dan kondisi para imam maupun Perbedaan mereka dalam mensikapi
dalil-dalil yang kelihatan kontradiktif. Oleh karena itu, sebagai umat muslim,
kita harus dapat mensikapi secara bijak adanya perbedaan – perbedaan hukum yang
ditetapkan oleh masing-masing mazhab. Janganlah hendaknya kita terlalu fanatic
dan menganggap bahwa pendapat mazhab yang kita anut itu adalah yang paling
benar. Karena , kebenaran itu hanyalah satu, yaitu kebenaran Allah. Oleh karena
itu, jika kita dihadapkan pada permasalahan kontemporer yang belum ada hukumnya secara jelas, maka
berijtihadlah agar kita tidak termasuk menjadi orang yang bertaklid buta.
DAFTAR
PUSTAKA
1. DR.Huzaemah Tahido “ Pengantar
Perbandingan Mazhab “, Jakarta:
Logos 1997
2. K.H. Moenawar Chalil “Biografi Empat
Serangkai Imam Mazhab” Jakarta:
Bulan Bintang,1990
3. Prof.Dr.Muhaimin, MA,dkk “ Kawasan dan
wawasan studi islam “Jakarta
: Kencana, 2005
4. Drs.Supiana, “ Materi Pendidikan Agama
Islam “ , Bandung
: Rosdakarya,2001
5. Ibrahim Muhammad al Jamal “ Fikih Wanita
“ , Semarang :
CV.Asy Syifa’ 1981
6. Dr.M.Nu’aim Yasin, “ Fikih Kedokteran “
, Jakarta :
Pustaka al Kautsar,2001
Hampir sama ya istinbath imam syafii dan imam hanafi. Yg membedakan pada istihsan dan istishab. Terimakasih.. Infonya detail sekali.
BalasHapus