Senin, 08 Oktober 2012

Pendidikan Agama Islam dan Krisis Moral

A.  Hakikat Pendidikan Agam Islam
Sebelum memahami hakikat Pendidikan Agama Islam, semestinyalah kita harus memahami makna pendidikan itu sendiri. Kata pendidikan berasal dari kata ”didik” yang artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pengertian pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah suatu proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[1]
            Pendidikan dalam makna yang luas tidak sebatas pada proses transformasi ilmu pengetaguan yang bersifat kognitif, namun juga transformasi nilai atau etik kepada peserta didik
            Setelah memahami makna pendidikan, barulah kita dapat memahami pendidikan apa yang harus ada dalam pendidikan agama islam. Berikut ini ada beberapa pengertian Pendidikan Agama Islam, diantaranya yakni:
  1. Pendidikan agama Islam ialah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).
  2. Pendidikan agama Islam ialah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam.
  3. Pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.[2]


A.  Hakikat Moral
Menurut Lilie, kata moral berasal dari kata mores (bahasa Latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Sedangkan Baron,dkk mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar. Adapun Magnis-Suseno berpendapat bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebagiannya sebagai manusia.[3] Sikap moral yang sebenarnya adalah moralitas. Moralitas yakni sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriahnya. Pembelajaran moral yang utama didapatkan dari pijakan nilai-nilai moral yang dikandung dalam Isi kandungan ajaran agama Islam.
B.  Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
PAI diberikan dengan mengikuti tuntutan bahwa agama diajarkan kepada manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling mengerti, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.[4] PAI diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman, taqwa, dan akhlak serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan, khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan dan perubahan yang muncul dalam pergaulan masyarakat. Hal ini seiring dengan tujuan pendidikan yang selain Pertama,untuk menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, tetapi juga kedua mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.






C.  Konsep Moral Dalam Pendidikan Agama Islam
Moralitas adalah lambang humanitas yang tertinggi karena memang ia diciptakan untuk tujuan tersebut. Olehkarenanya, potensi psikis berupa akal, kemauan, dan perasaan agar ia mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya mesti senantiasa diarahkan pada nilai-nilai moralitas yang tertinggi. Kondsisi fitrah manusia sedemikian ini memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui penyiapan berbagai perangkat pendukung bagi lahirnya perilaku moral potensial menjadi perilaku moral aktual.
            Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah n-Nahl ayat 78:



Memberi petunjuk akan pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat ini memberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan menjadi manunusia yang utuh memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu memaksimalkan fungsi instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan sebagai lambang bagi dirinya. Manusia ideal dalam Islam yaitu manusia yang memiliki kepribadian moralis , baik fungsinya sebagai mu’abbid, khalifah fi al-ardh, dan ’immarah fi al-ardh.[5]
            Merujuk firman Allah SWT dalam surah Ali-Imran ayat 110:



”Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”. Umat dapat dikatakan terbaik jika memenuhi syarat mengerjakan tiga hal yang diungkapkan dalam ayat diatas yaitu amar ma’ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Nilai illahiyah tersebut menjadi tumpuan bagi aktivitas manusia dalam kehidupannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa manusia Muslim dalam melakukan setiap aktivitas kemanusiaannya akan selalu melandasinya dengan orientasi keIllahian. Dalam konteks inilah maka banyak filsuf Muslim menyebutkan bahwa moralitas manusia pada dasarnya adalah perefleksian sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang menjadikannya sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dirinya.
            Dalam konteks Islam, Iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. [6] Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaan dengan sejauh mana ia menyadari bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam bahasa agama disebut iman. Manusia menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya, akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya, yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
            Mengingat tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas yang menunjukkan pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah diawali dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, maka perilaku moral yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai ’personal’ yang diwakili dapat ditumbuhkembangkan dengan baik.
            Manusia tauhid tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Inilah moral yang diinginkan oleh islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam.     

D.  Faktor-Faktor Penyebab Krisis Moral
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang yang pada akhirnya mennimbulkan krisis moral. Diantaranya sebagai berikut:
1)      Longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan dan suruhan Tuhan tidal lagi di indahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya pengontrol adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya.
Akan tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri.
2)      Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga instintusi ini tidak berjalan menurut mana yang semestinya. Pembinaan moral di rumah tangga misalnya dan    dilakukan dari sejak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya, karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang salah dan mana yang buruk. Pembinaan moral pada anak di rumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus di biasakan.
3)      Derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan sekularististis.

4)      Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Salah satu penyebab terjadinya krisis moral yaitu kekurang pahaman generasi muda terhadap nilai-nilai agama dalam pendidikan agama Islam. Selain itu juga karena adanya kelemahan dan kekurangan sistem pendidikan agama Islam yang ada disekolah-sekolah. M. Amin Abdullah dalam Abd. Munir Mulkhan menyoroti persoalan kurikulum dan kegiatan pendidikan Islam yang berlangsung selama ini dengan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.      Pendidikan Islam lebih banyak berkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata serta amalan ibadah praktis.
2.      Pendidikan Islam kurang ”concern” kepada persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai yang perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum.
3.      Pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan pada aspek hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada.
4.      Sistem evaluasi, terutama bentuk-bentuk soal ujian agama islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan anak didik.[7]

E.  Posisi dan Peran PAI Dalam Menanamkan Moral Kepada Generasi Muda Islam
Inti dari pendidikan agama islam adalah selain menumbuhkan daya kritis dan kreatif
Pendidikan agama memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan perilaku manusia. Dengan pendidikan agama yang kuat, maka akan terbentuk generasi yang mampu bertahan dalam perubahan zaman yang kian dinamis. Pendidikan agama inilah yang harus ditanamkan kepada para remaja agar tidak terpengaruh oleh pergaulan dilingkungan yang dapat menjerumuskannya dalam perilaku yang tidak bermoral. Seperti dalam hadis nabi yang artinya :
Taatlah kalian kepada Allah dan takutlah berbuat maksiat kepada-Nya. Perintahlah semua anak kalian untuk mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang karena hal itu merupakan benteng bagi mereka dan bagimu sekalian dari api neraka”.Hadits Riwayat Ibnu Jaris dan Ibnu Mundzir dari Mas’ud).
Berdasarkan Hadits tersebut, Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat menjadi benteng dari api neraka. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam memegang peran yang vital dalam menentukan arah hidup manusia. Karena pentingnya pendidikan agama dalam kehidupan manusia, Al-Ghazali (1977:39) menyatakan bahwa diperlukan penekanan yang kuat terhadap kewajiban untuk mendalami ilmu agama dengan menyatakannya sebagai fardlu a’in, artinya wajib (Ajat Sudrajat, 2001:132).
Lebih rinci mengenai fungsi pendidikan agama itu adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah Swt., yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga.
2) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan siswa yang memiliki bakat khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat berkembang secara optimal.
3) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan siswa dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajara Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4) Pencegahan, yaitu untuk menangkal hal-hal yang negatif dari lingkungan siswa atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia seutuhnya.
5) Penyesuaian, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik ingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
6) Sumber Nilai, yaitu memberikan pedoman hidup untuk mencapai kebahagaiaan hidup di dunia dan akhirat.
7) Pengajaran, yaitu untuk menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.
Sebagai mata pelajaran PAI memiliki peranan penting dalam penyadaran nilai-nilai agama Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung nilai, moral, dan etika agama menempatkan PAI pada posisi trdepan dalam pengembangan moral beragama peserta didik. Hal itu berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang kemudian dituntut lebih banyak perannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan.



F.   Format PAI Dalam Menghadapi Krisis Moral Saat Ini
Upaya untuk meningkatkan peran PAI dalam rangka mengatasi krisis moral, maka perlu kiranya dilakukan reformasi semua atau sebagian komponen yang ada di dalamnya, sehingga yang semula cendrung eksklusif menjadi lebih inklusif. Reformasi itu perlu dilakukan misalnya, pada aspek komponen pendidikan, meliputi tujuan pendidikan, kurikulum, metode atau proses belajar mengajar, pendidik, materi atau isi pelajaran dan lain-lain, termasuk juga aspek masyarakat sekitarnya.
Ada beberapa langkah untuk memformat PAI guna menghadapi persoalan krisis moral yang terjadi saat ini. Salah satu diantaranya yakni perbaikan dalam sistem dan komponen PAI di sekolah-sekolah di bawah ini:
1.      Tujuan Pendidikan

2.      Perbaikan Kurikulum
Menurut  Muhammad Al-Ghazali, problem solving dari permasalahan moral umat di era globalisasi saat ini haruslah dikembalikan pada fitrah manusia selaku hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Seluruh aktivitas manusia diarahkan pembentukannya kepada moralitas Illahi (mardhatillah).[8] Hal ini dapat ditempuh dengan merenungkan kembali ikrar syahadat yang telah diucapkan dengan cara pembentukan ’akidah yang murni. Untuk menerapkan akidah yang murni tersebut perlu menerapkan kurikulum pendidikan berbasis al-Qur’an yang dipadu dengan akal pemikiran, dua unsur ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kurikulum pendidikan yang diinginkan al-Ghazali ada dua yaitu kurikulum pendidikan di sekolah dan kurikulum pendidikan di rumah tangga. Orang tua berkewajiban penuh membimbing dan mengarahkan anaknya kepada pendidikan moral yang berlandaskan al-Qur’an dengan berbagai metode pendidikan ideal seperti metode pembiasaan, kisah-kisah qur’ani metode uswah al-hasanah, dsb. Dengan perpaduan berbagai metode pendidikan moral yang disesuaikan dengan konteks, pemikiran pendidikan moral muhammad al-ghazali sangat layak dijadikan pedoman (suri tauladan) dalam merekonstruksi kembali konsep-konsep pendidikan moral yang selama ini belum terkuak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

3.      Pendekatan Pembelajaran
Sebagai seorang pendidik, guru agama islam harus mampu melihat pendekatan pembelajaran agar mudah menanamkan nilai-nilai moral yang islami ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karenanya, gurupun harus mampu mngidentifikasi terlebih dahulu mana saja materi yang lebih kental nuansa privat dan mana saja materi ynag kental dengan nuansa publik. Hasilnya, diharapkan anak didik tidak hanya saleh secara individual, tetapi juga secara sosial.
Adapun dalam operasional pembelajarannya, pendidikan ini dilakukan secara kritis –integral. Maksudnya, sisi privat menekankan dimensi spiritual atau religiusitas anak didik. Pada wilayah ini mereka diajak untuk menghayati nilai-nilai dan ajaran-ajaran agamanya, tidak secara doktriner, tetapi secara kritis, Guru memberikan arahan (fasilitasi) dan bukan menentukan. Guru bukan hanya memberikan dasar-dasar keimanan yang kemudian diimplementasikan dalam ritual-ritual, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Penjelasan-penjelasan mendasar seperti mengapa beriman kepada Allah SWT, mendirikan shalat, berpuasa, berzakat, dan berhaji perlu dikekmukakan dengan bahasa ayng mudah diterima, tetapi sekaligus memberikan pemahaman yang dalam dan terbuka. Tidak kalah pentingnya, bukanlah dogma atas ajaran-ajaran itu yang lebih banyak diberikan, tetapi bagaimana anak didik menghayati pengalaman-pengalaman keagamaan yang terlembagakan dalam ritual-ritual tersebut.

Mengingat seluruh tingkah laku manusia yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan berdasarkan hasil pilihan bebas manusia itu sendiri selalu berkenaan dengan rasionalitas manusia itu sendiri, sedangkan imani seseorang seperti diuraikan di atas, maka berarti di sini kesadaran merupakan starting point bagi realisasi moral manusia. Ketika ia memutuskan bahwa suatu perbuatan itu baik dan berguna bagi dirinya, maka ia pun akan memilihnya sebagai suatu perilaku yang mesti dilakukan. Karena memang kesadaran adalah kata kunci bagi perealisasian moral dalam setiap gerak kehidupan manusia, maka implikasinya dalam proses pendidikan moral adalah bahwa setiap uapaya yang dilakukan mestilah didasari pada kesadaran subjek pendidik untuk menumbuhkan kesadaran moral pada anak didiknya agar dengan suka rela dan tanpa paksaan selalu mengarahkan perilakunya pada dimensi moral dan senantiasa atas dasar moral.[9]
Berdasarkan uraian diatas, maka pendidikan agama dan moral yang diarahkan pada pengupayaan pembinaan kesadaran anak didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan moral melalui pertimbangan- pertimbangan  rasional. Hal ini sangat penting terutama mengingat kesadaran manusia atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna dalam menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti diaktualisasikan dalam tindakan senyatanya.[10]

4.      Metode
Seperti halnya kurikulum, metode pembelajaran sebagai bagian yang terintegrasi dari pembelajaran, juga dituntut mampu menunjukkan dirinya sebagai metodis pembelajaran yang sepenuhnya yang dapat mendorong kemampuan anak didik untuk dapat mengapresiasikan nilai-nilai moral, selanjutnya menginternalisasikan nilai-nilai yang diperolehnya dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya itu dalam kehidupan keseharian mereka. Pada awalnya sudah ada metode yang digunakan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai moral yang telah dikenal selama ini seperti, hukuman dan ganjaran, pembiasaan serta contoh teladan. Namun untuk menanamkan nilai moral diperlukan metode yang tidak hanya  menempatkan anak didik pada posisi ”konsumen nilai”, melainkan juga pada posisi ”produdser nilai”, sehingga nilai-nilai baik dan bijak yang didapat anak didik dari setiap pengetahuan agama islam yang diajarkan melalui bimbingan guru, secara niscaya akan memunculkan kesadaran nilai dalam pribadi mereka. Sehingga memunculkan kesediaan untuk mengikutkan nilai-nilai yang baik dan bijak tersebut disaat mereka melakukan transfer pengetahuan dalam kehidupan mereka. [11] 
Pada dasarnya pendidikan agama tidak akan berhasil apabila hanya menerapkan satu metode. Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Karena itu, pada prinsipnya metode pembelajaran agama dapat dilakukan secara eklektik—yakni menggabungkan sejumlah metode secara proporsional.
Demikian juga dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak semua tujuan pembelajaran agama Islam dapat dirumuskan secara operasional karena adanya tiga ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pembelajaran pada ranah kognitif meliputi pembelajaran verbal, konsep dan prinsip, dalam pembelajaran ranah psikomotor perlu diperhatikan urutan pembelajarannya dan pembelajaran untuk ranah afektif ini agak sulit dalam menerapkan langkah pembelajarannya.
Dengan demikian, membaca saja belum cukup untuk memenuhi tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam, karena itu dibutuhkan adanya visualisasi untuk lebih mempermudah dalam memahami materi Pendidikan Agama Islam, sehingga memberikan dorongan agar guru pendidikan agama Islam melakukan inovasi dalam pembelajarannya dengan membuat bahan ajar berbasis Teknologi Informasi dan Komputer (TIK).
            Ibnu Khaldun menggambarkan metode lain dalam pembelajaran agama islam yakni metode psikologis. Beliau mengemukakan bahwa ilmu sebaiknya diberikan tidak melebihi kemampuan akal pikiran, karena hal itu akan menyebabkan anak didik menjauhi ilmu agama  islam itu sendiri dan membuatnya malas mempelajarinya. [12]
Berdasarkan penjelasan diatas

5.      Materi
Diataranya:
a. Tauhid



Muatan inti PAI adalah nilai-nilai kebenaran dan kebaikan—juga keindahan yang berasal dari wahyu.



6.      Pendidik
Pendidik pada masa sekarang ini tidak banyak lagi mempersepsikan dirinya sebagai pengembangan amanat yang suci dan mulia, mengembangkan nilai-nilai multipotensi anak didik, tetapi mempersepsikan dirinya sebagai petugas transfer ilmu pengetahuan semata kepada anak didiknya. Bahkan kadangkala muncul sifat egoisme yang termotivasi oleh sifat yang materialistis dan pragmatis yang tidak lagi dimotivasi oleh rasa keikhlasan mengembangkan fitrahnya dan fitrah anak didiknya. Pendidik kurang memposisikan dirinya sebagai seorang figur teladan yang perlu ditiru. Ditiru atau tidak, yang jelas ia merasa sudah melaksanakan tugas dalm transfer ilmu saja.
Pendidik Ideal yang dapat mengubah kondisi moral anak didik yang rusak seperti yang menjadi masalah saat ini yaitu pendidik harus memahami dirinya lebih dari sekedar petugas yang mendapat gaji yakni ia adalah teladan yang akan ditiru anak didiknya, baik cara bersikap, berucap maupun berperilaku. Ia diharapkan untuk memperlakukan murid-murid tidak seperti domba atau ternak yang perlu digembala dan disiplinkan, melainkan sebagai manusia yang mudah dipengaruhi, yakni sifat- sifatnya yang mesti harus dibentuk dan harus dididik olehnya untuk mengenal aturan moral, etika, estetika dan spiritual yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, Islam mengisyaratkan bahwa seorang pendidik diwajibkan untuk memenuhi syarat, bukan hanya orang yang pandai tapi juga orang yang berbudi, beriman yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh pada pola pikir, jiwa dan akhlak muridnya. Pendidik dalam menunaikan tugasnya sebagai pendidik hendaknya pandai dan menguasai berbagai macam metode dan tekhnik pendidikan.


Pengertian Moral
         Kata moral menurut bahasa adalah kata yang berasal dari bahasa Latin mores yaitu jamak dari kata mos artinya adat kebiasaan.[3]
Dewey mengatakan bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila.[4]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia moral berarti penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[5] Selanjutnya dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English seperti dikutip oleh Abuddin Nata[6] bahwa pengertian moral adalah sebagai berikut :
1)      Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2)      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3)      Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Jadi moral adalah istilah yang dipakai untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan ketentuan baik atau buruk, benar atau salah. Ketentuan baik dan buruk tersebut berdasarkan kesepakatan yang bersifat turun temurun dan sudah menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sehingga aturan yang berlaku dapat juga berubah karena adanya perubahan zaman dan pergantian generasi.


[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1991), cet. Ke-II, Hal.232.
[2] Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Bumi Aksara,2004)Cet 5, hal.86
[3] Dr. C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karaktristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: PT.Rineka Cipta,2004),cet.Ke-I,hal.24.
[4] Puskur Balitbang Diknas, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran PAI SMP/MTs (Jakarta:Balitbang Diknas,2006).
[5]Mansur,Amril. Etika dan Pendidikan,Pekanbaru:LSFK2P,2005. hal.xiii
[6] Ibid., hal.xv
[7] Thoib, Ismail , Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta:Genta Press,2008 ,hal 194.
[8] Muhmidayeli, Membangun Paradigma Pendidikan Islam, Pekanbaru:Program Pascasarjana UIN Suska Riau,2007, hal.156.
[9] Op.Cit. Amril M, hal.xviii
[10] Ibid.
[11]  Ibid. hal. xxvii
[12] Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:PT Bumi Aksara,2003  .Hal 97 


3 komentar: