A. Hakikat Pendidikan Agam Islam
Sebelum memahami hakikat
Pendidikan Agama Islam, semestinyalah kita harus memahami makna pendidikan itu
sendiri. Kata pendidikan berasal dari kata ”didik” yang artinya memelihara dan
memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran,
tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pengertian
pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah suatu proses perubahan sikap
dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan.[1]
Pendidikan
dalam makna yang luas tidak sebatas pada proses transformasi ilmu pengetaguan
yang bersifat kognitif, namun juga transformasi nilai atau etik kepada peserta
didik
Setelah
memahami makna pendidikan, barulah kita dapat memahami pendidikan apa yang
harus ada dalam pendidikan agama islam. Berikut ini ada beberapa pengertian Pendidikan
Agama Islam, diantaranya yakni:
- Pendidikan agama Islam ialah usaha berupa
bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai
pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta
menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).
- Pendidikan agama Islam ialah pendidikan yang
dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam.
- Pendidikan agama Islam adalah pendidikan
dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam yaitu berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah
diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu
sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup
di dunia maupun di akhirat kelak.[2]
A. Hakikat Moral
Menurut Lilie, kata moral
berasal dari kata mores (bahasa Latin)
yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Sedangkan Baron,dkk
mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar. Adapun Magnis-Suseno berpendapat
bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia,
sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebagiannya sebagai manusia.[3]
Sikap moral yang sebenarnya adalah moralitas. Moralitas yakni sikap hati orang
yang terungkap dalam tindakan lahiriahnya. Pembelajaran moral yang utama
didapatkan dari pijakan nilai-nilai moral yang dikandung dalam Isi kandungan
ajaran agama Islam.
B. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Agama Islam
PAI
diberikan dengan mengikuti tuntutan bahwa agama diajarkan kepada manusia yang
bertaqwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk
menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling mengerti,
disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.[4]
PAI diharapkan menghasilkan manusia yang selalu berupaya menyempurnakan iman,
taqwa, dan akhlak serta aktif membangun peradaban dan keharmonisan kehidupan,
khususnya dalam memajukan peradaban bangsa yang bermartabat. Manusia seperti
itu diharapkan tangguh dalam menghadapi tantangan, hambatan dan perubahan yang
muncul dalam pergaulan masyarakat. Hal ini seiring dengan tujuan pendidikan
yang selain Pertama,untuk
menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan
pengetahuan, penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman peserta
didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT, tetapi juga kedua mewujudkan manusia Indonesia yang
taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi,
menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya
agama dalam komunitas sekolah.
C. Konsep Moral Dalam Pendidikan Agama Islam
Moralitas
adalah lambang humanitas yang tertinggi karena memang ia diciptakan untuk
tujuan tersebut. Olehkarenanya, potensi psikis berupa akal, kemauan, dan
perasaan agar ia mampu berkreativitas dan berimajinasi dalam kehidupannya mesti
senantiasa diarahkan pada nilai-nilai moralitas yang tertinggi. Kondsisi fitrah
manusia sedemikian ini memerlukan pemeliharaan dan pengembangan melalui
penyiapan berbagai perangkat pendukung bagi lahirnya perilaku moral potensial
menjadi perilaku moral aktual.
Firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surah n-Nahl ayat 78:
Memberi petunjuk akan
pentingnya proses panjang untuk mengisi kemanusiaan. Ayat ini memberikan
pemahaman bahwa manusia tidak akan menjadi manunusia yang utuh memiliki ilmu
pengetahuan yang berguna bagi kemudahan kehidupannya, jika ia belum mampu
memaksimalkan fungsi instrumen jasmani dan ruhaninya. Hanya dengan cara
demikian seseorang menjadi lebih baik dan memiliki nilai-nilai kemanusiaan
sebagai lambang bagi dirinya. Manusia ideal dalam Islam yaitu manusia yang
memiliki kepribadian moralis , baik fungsinya sebagai mu’abbid, khalifah fi al-ardh, dan ’immarah fi al-ardh.[5]
Merujuk
firman Allah SWT dalam surah Ali-Imran ayat 110:
”Kamu adalah sebaik-baik umat yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah SWT”. Umat dapat dikatakan terbaik jika
memenuhi syarat mengerjakan tiga hal yang diungkapkan dalam ayat diatas yaitu
amar ma’ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah SWT. Nilai illahiyah tersebut
menjadi tumpuan bagi aktivitas manusia dalam kehidupannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa manusia Muslim dalam melakukan setiap aktivitas kemanusiaannya
akan selalu melandasinya dengan orientasi keIllahian. Dalam konteks inilah maka
banyak filsuf Muslim menyebutkan bahwa moralitas
manusia pada dasarnya adalah perefleksian sifat-sifat Tuhan ke dalam diri
manusia yang menjadikannya sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari dirinya.
Dalam
konteks Islam, Iman sebagai realisasi ketauhidan manusia memiliki implikasi dan
konsekuensi terhadap penegakan nilai-nilai moral yang tinggi dan mulia. [6]
Penumbuhkembangan perilaku moral manusia selalu berkenaan dengan sejauh mana ia
menyadari bahwa perilaku itu harus ia lakukan. Kesadaran dalam hal ini adalah
bukti nyata dari sebuah keyakinan mendalam seseorang atas sesuatu yang dalam
bahasa agama disebut iman. Manusia
menyadari bahwa dirinya, alam jagad raya dan Tuhannya merupakan tiga bagian
yang tidak dapat dilupakan begitu saja dalam segala aktivitas kehidupannya,
akan selalu mengorientasikan diri dan perilakunya pada keinginan Tuhannya,
yakni dengan menjalankan secara ikhlas segala perintah dan menjauhi segala
larangan-Nya.
Mengingat
tauhid merupakan dasar bagi pemunculan sikap tanpa pamrih sebagai identitas
yang menunjukkan pada moralitas, maka pengupayaan moralitas mestilah diawali
dengan penanaman nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian, maka perilaku moral
yang diinginkan oleh Allah SWT sebagai ’personal’ yang diwakili dapat
ditumbuhkembangkan dengan baik.
Manusia
tauhid tidak akan pernah memiliki keinginan apalagi melakukan segala sesuatu
yang berseberangan dengan keyakinan tauhid yang ia miliki. Inilah moral yang
diinginkan oleh islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
D. Faktor-Faktor Penyebab Krisis Moral
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya
perilaku menyimpang yang pada akhirnya mennimbulkan krisis moral. Diantaranya
sebagai berikut:
1) Longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi
tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaaan kepada
Tuhan tinggal simbol, larangan dan suruhan Tuhan tidal lagi di indahkan lagi.
Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan
pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya pengontrol
adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya.
Akan tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya
kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi
adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya
sendiri.
2) Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan
oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh
ketiga instintusi ini tidak berjalan menurut mana yang semestinya. Pembinaan
moral di rumah tangga misalnya dan
dilakukan dari sejak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya,
karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang salah dan mana yang buruk.
Pembinaan moral pada anak di rumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak
menghafalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus di biasakan.
3) Derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan
sekularististis.
4) Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari
pemerintah.
Salah
satu penyebab terjadinya krisis moral yaitu kekurang pahaman generasi muda terhadap
nilai-nilai agama dalam pendidikan agama Islam. Selain itu juga karena adanya
kelemahan dan kekurangan sistem pendidikan agama Islam yang ada disekolah-sekolah. M. Amin
Abdullah dalam Abd. Munir Mulkhan menyoroti persoalan kurikulum dan kegiatan
pendidikan Islam yang berlangsung selama ini dengan mengemukakan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Pendidikan Islam lebih banyak berkonsentrasi pada
persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata-mata serta
amalan ibadah praktis.
2.
Pendidikan Islam kurang ”concern” kepada persoalan
bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai yang
perlu diinternalisasikan dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan
forum.
3.
Pendidikan agama lebih menitik beratkan pada aspek
korespondensi-tekstual, yang lebih menekankan pada aspek hafalan teks-teks
keagamaan yang sudah ada.
4.
Sistem evaluasi, terutama bentuk-bentuk soal ujian
agama islam menunjukkan prioritas utama pada aspek kognitif dan jarang
pertanyaan tersebut mempunyai muatan nilai dan makna spiritual keagamaan yang
fungsional dalam kehidupan anak didik.[7]
E. Posisi dan Peran PAI Dalam Menanamkan Moral Kepada Generasi Muda Islam
Inti dari pendidikan agama islam adalah
selain menumbuhkan daya kritis dan kreatif
Pendidikan agama memiliki
peran yang sangat besar dalam pembentukan perilaku manusia. Dengan pendidikan
agama yang kuat, maka akan terbentuk generasi yang mampu bertahan dalam
perubahan zaman yang kian dinamis. Pendidikan agama inilah yang harus
ditanamkan kepada para remaja agar tidak terpengaruh oleh
pergaulan dilingkungan yang dapat menjerumuskannya dalam perilaku yang tidak bermoral. Seperti dalam hadis nabi yang artinya :
“Taatlah kalian kepada Allah dan
takutlah berbuat maksiat kepada-Nya. Perintahlah semua anak kalian untuk
mengerjakan yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang karena hal itu
merupakan benteng bagi mereka dan bagimu sekalian dari api neraka”.Hadits
Riwayat Ibnu Jaris dan Ibnu Mundzir dari Mas’ud).
Berdasarkan Hadits
tersebut, Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat menjadi benteng dari api neraka.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam memegang peran yang vital dalam
menentukan arah hidup manusia. Karena pentingnya pendidikan agama dalam
kehidupan manusia, Al-Ghazali (1977:39) menyatakan bahwa diperlukan penekanan
yang kuat terhadap kewajiban untuk mendalami ilmu agama dengan menyatakannya
sebagai fardlu a’in, artinya wajib (Ajat Sudrajat, 2001:132).
Lebih rinci mengenai
fungsi pendidikan agama itu adalah sebagai berikut:
1) Pengembangan, yaitu meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah Swt., yang telah ditanamkan dalam
lingkungan keluarga.
2) Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan
siswa yang memiliki bakat khusus di bidang agama agar bakat tersebut dapat
berkembang secara optimal.
3) Perbaikan, yaitu untuk memperbaiki
kesalahan, kekurangan dan kelemahan siswa dalam keyakinan, pemahaman dan
pengamalan ajara Islam dalam kehidupan sehari-hari.
4) Pencegahan, yaitu untuk menangkal
hal-hal yang negatif dari lingkungan siswa atau dari budaya lain yang dapat
membahayakan dan menghambat perkembangan dirinya menuju manusia Indonesia
seutuhnya.
5) Penyesuaian, yaitu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik ingkungan fisik maupun lingkungan
sosial dan dapat mengubah lingkungannya sesuai dengan ajaran agama Islam.
6) Sumber Nilai, yaitu memberikan
pedoman hidup untuk mencapai kebahagaiaan hidup di dunia dan akhirat.
7) Pengajaran, yaitu untuk
menyampaikan pengetahuan keagamaan yang fungsional.
Sebagai
mata pelajaran PAI memiliki peranan penting dalam penyadaran nilai-nilai agama
Islam kepada peserta didik. Muatan mata pelajaran yang mengandung nilai, moral,
dan etika agama menempatkan PAI pada posisi trdepan dalam pengembangan moral
beragama peserta didik. Hal itu berimplikasi pada tugas-tugas guru PAI yang
kemudian dituntut lebih banyak perannya dalam penyadaran nilai-nilai keagamaan.
F. Format PAI Dalam Menghadapi Krisis Moral
Saat Ini
Upaya untuk meningkatkan peran
PAI dalam rangka mengatasi krisis moral, maka perlu kiranya dilakukan reformasi
semua atau sebagian komponen yang ada di dalamnya, sehingga yang semula
cendrung eksklusif menjadi lebih inklusif. Reformasi itu perlu dilakukan
misalnya, pada aspek komponen pendidikan, meliputi tujuan pendidikan, kurikulum,
metode atau proses belajar mengajar, pendidik, materi atau isi pelajaran dan
lain-lain, termasuk juga aspek masyarakat sekitarnya.
Ada beberapa langkah untuk
memformat PAI guna menghadapi persoalan krisis moral yang terjadi saat ini. Salah
satu diantaranya yakni perbaikan dalam sistem dan komponen PAI di
sekolah-sekolah di bawah ini:
1. Tujuan Pendidikan
2. Perbaikan Kurikulum
Menurut Muhammad Al-Ghazali, problem solving dari permasalahan moral umat di era globalisasi
saat ini haruslah dikembalikan pada fitrah manusia selaku hamba Allah dan
khalifah di muka bumi. Seluruh aktivitas manusia diarahkan pembentukannya
kepada moralitas Illahi (mardhatillah).[8]
Hal ini dapat ditempuh dengan merenungkan kembali ikrar syahadat yang telah diucapkan dengan cara pembentukan ’akidah yang
murni. Untuk menerapkan akidah yang murni tersebut perlu menerapkan kurikulum
pendidikan berbasis al-Qur’an yang dipadu dengan akal pemikiran, dua unsur ini
saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Kurikulum pendidikan yang diinginkan
al-Ghazali ada dua yaitu kurikulum pendidikan di sekolah dan kurikulum
pendidikan di rumah tangga. Orang tua berkewajiban penuh membimbing dan
mengarahkan anaknya kepada pendidikan moral yang berlandaskan al-Qur’an dengan
berbagai metode pendidikan ideal seperti metode pembiasaan, kisah-kisah qur’ani
metode uswah al-hasanah, dsb. Dengan perpaduan berbagai metode pendidikan moral
yang disesuaikan dengan konteks, pemikiran pendidikan moral muhammad al-ghazali
sangat layak dijadikan pedoman (suri tauladan) dalam merekonstruksi kembali
konsep-konsep pendidikan moral yang selama ini belum terkuak secara nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
3. Pendekatan Pembelajaran
Sebagai seorang pendidik, guru
agama islam harus mampu melihat pendekatan pembelajaran agar mudah menanamkan
nilai-nilai moral yang islami ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karenanya, gurupun harus mampu mngidentifikasi terlebih dahulu mana saja
materi yang lebih kental nuansa privat dan mana saja materi ynag kental dengan
nuansa publik. Hasilnya, diharapkan anak didik tidak hanya saleh secara
individual, tetapi juga secara sosial.
Adapun dalam operasional
pembelajarannya, pendidikan ini dilakukan secara kritis –integral. Maksudnya,
sisi privat menekankan dimensi spiritual atau religiusitas anak didik. Pada
wilayah ini mereka diajak untuk menghayati nilai-nilai dan ajaran-ajaran
agamanya, tidak secara doktriner, tetapi secara kritis, Guru memberikan arahan (fasilitasi) dan bukan menentukan. Guru bukan hanya memberikan dasar-dasar keimanan yang
kemudian diimplementasikan dalam ritual-ritual, seperti shalat, puasa, zakat,
dan haji. Penjelasan-penjelasan mendasar seperti mengapa beriman kepada Allah
SWT, mendirikan shalat, berpuasa, berzakat, dan berhaji perlu dikekmukakan
dengan bahasa ayng mudah diterima, tetapi sekaligus memberikan pemahaman yang
dalam dan terbuka. Tidak kalah pentingnya, bukanlah dogma atas ajaran-ajaran
itu yang lebih banyak diberikan, tetapi bagaimana anak didik menghayati
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terlembagakan dalam ritual-ritual
tersebut.
Mengingat seluruh tingkah laku
manusia yang baik ataupun yang buruk yang dilakukan berdasarkan hasil pilihan
bebas manusia itu sendiri selalu berkenaan dengan rasionalitas manusia itu
sendiri, sedangkan imani seseorang seperti diuraikan di atas, maka berarti di
sini kesadaran merupakan starting point bagi realisasi moral
manusia. Ketika ia memutuskan bahwa suatu perbuatan itu baik dan berguna bagi
dirinya, maka ia pun akan memilihnya sebagai suatu perilaku yang mesti dilakukan. Karena memang kesadaran adalah kata kunci bagi
perealisasian moral dalam setiap gerak kehidupan manusia, maka implikasinya
dalam proses pendidikan moral adalah bahwa setiap uapaya yang dilakukan
mestilah didasari pada kesadaran subjek pendidik untuk menumbuhkan kesadaran
moral pada anak didiknya agar dengan suka rela dan tanpa paksaan selalu
mengarahkan perilakunya pada dimensi moral dan senantiasa atas dasar moral.[9]
Berdasarkan uraian diatas,
maka pendidikan agama dan moral yang diarahkan pada pengupayaan pembinaan
kesadaran anak didik ini dapat dilakukan melalui pendekatan rasional, yaitu
suatu pendekatan moral melalui pendidikan dan pembinaan pada pembuatan putusan
moral melalui pertimbangan- pertimbangan
rasional. Hal ini sangat penting terutama mengingat kesadaran manusia
atas sesuatu selalu berhubungan dengan dapat tidaknya rasio mereka mencerna
dalam menerima sebuah ajaran sebagai sebuah keyakinan ontologis yang mesti
diaktualisasikan dalam tindakan senyatanya.[10]
4. Metode
Seperti halnya kurikulum,
metode pembelajaran sebagai bagian yang terintegrasi dari pembelajaran, juga
dituntut mampu menunjukkan dirinya sebagai metodis pembelajaran yang sepenuhnya
yang dapat mendorong kemampuan anak didik untuk dapat mengapresiasikan
nilai-nilai moral, selanjutnya menginternalisasikan nilai-nilai yang
diperolehnya dari setiap pengetahuan yang dipelajarinya itu dalam kehidupan
keseharian mereka. Pada awalnya sudah ada metode yang digunakan untuk
menumbuhkembangkan nilai-nilai moral yang telah dikenal selama ini seperti,
hukuman dan ganjaran, pembiasaan serta contoh teladan. Namun untuk menanamkan
nilai moral diperlukan metode yang tidak hanya
menempatkan anak didik pada posisi ”konsumen nilai”, melainkan juga pada
posisi ”produdser nilai”, sehingga nilai-nilai baik dan bijak yang didapat anak
didik dari setiap pengetahuan agama islam yang diajarkan melalui bimbingan
guru, secara niscaya akan memunculkan kesadaran nilai dalam pribadi mereka.
Sehingga memunculkan kesediaan untuk mengikutkan nilai-nilai yang baik dan
bijak tersebut disaat mereka melakukan transfer pengetahuan dalam kehidupan
mereka. [11]
Pada
dasarnya pendidikan agama tidak akan berhasil apabila hanya menerapkan satu
metode. Setiap metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Karena
itu, pada prinsipnya metode pembelajaran agama dapat dilakukan secara eklektik—yakni
menggabungkan sejumlah metode secara proporsional.
Demikian juga dalam pembelajaran pendidikan agama Islam tidak semua tujuan
pembelajaran agama Islam dapat dirumuskan secara operasional karena adanya tiga
ranah yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Pembelajaran pada ranah kognitif
meliputi pembelajaran verbal, konsep dan prinsip, dalam pembelajaran ranah
psikomotor perlu diperhatikan urutan pembelajarannya dan pembelajaran untuk
ranah afektif ini agak sulit dalam menerapkan langkah pembelajarannya.
Dengan demikian, membaca saja belum cukup untuk memenuhi tujuan
pembelajaran Pendidikan Agama Islam, karena itu dibutuhkan adanya visualisasi
untuk lebih mempermudah dalam memahami materi Pendidikan Agama Islam, sehingga
memberikan dorongan agar guru pendidikan agama Islam melakukan inovasi dalam
pembelajarannya dengan membuat bahan ajar berbasis Teknologi Informasi dan
Komputer (TIK).
Ibnu
Khaldun menggambarkan metode lain dalam pembelajaran agama islam yakni metode
psikologis. Beliau mengemukakan bahwa ilmu sebaiknya diberikan tidak melebihi
kemampuan akal pikiran, karena hal itu akan menyebabkan anak didik menjauhi
ilmu agama islam itu sendiri dan
membuatnya malas mempelajarinya. [12]
Berdasarkan penjelasan diatas
5. Materi
Diataranya:
a. Tauhid
Muatan inti PAI adalah
nilai-nilai kebenaran dan kebaikan—juga keindahan yang berasal dari wahyu.
6. Pendidik
Pendidik pada masa sekarang ini tidak banyak lagi
mempersepsikan dirinya sebagai pengembangan amanat yang suci dan mulia,
mengembangkan nilai-nilai multipotensi anak didik, tetapi mempersepsikan dirinya sebagai petugas transfer ilmu pengetahuan semata
kepada anak didiknya. Bahkan kadangkala muncul sifat egoisme yang termotivasi
oleh sifat yang materialistis dan pragmatis yang tidak lagi dimotivasi oleh
rasa keikhlasan mengembangkan fitrahnya dan fitrah anak didiknya. Pendidik
kurang memposisikan dirinya sebagai seorang figur teladan yang perlu ditiru.
Ditiru atau tidak, yang jelas ia merasa sudah melaksanakan tugas dalm transfer
ilmu saja.
Pendidik Ideal yang dapat mengubah kondisi moral
anak didik yang rusak seperti yang menjadi masalah saat ini yaitu pendidik
harus memahami dirinya lebih dari sekedar petugas yang mendapat gaji yakni ia
adalah teladan yang akan ditiru anak didiknya, baik cara bersikap, berucap
maupun berperilaku. Ia diharapkan untuk memperlakukan murid-murid tidak seperti
domba atau ternak yang perlu digembala dan disiplinkan, melainkan sebagai
manusia yang mudah dipengaruhi, yakni sifat- sifatnya yang mesti harus dibentuk
dan harus dididik olehnya untuk mengenal aturan moral, etika, estetika dan
spiritual yang dianut oleh masyarakat. Oleh karena itu, Islam mengisyaratkan bahwa seorang pendidik diwajibkan untuk memenuhi
syarat, bukan hanya orang yang pandai tapi juga orang yang berbudi, beriman
yang perbuatannya sendiri dapat memberikan pengaruh pada pola pikir, jiwa dan
akhlak muridnya. Pendidik dalam menunaikan tugasnya
sebagai pendidik hendaknya pandai dan menguasai berbagai macam metode dan
tekhnik pendidikan.
Pengertian Moral
Kata moral menurut bahasa adalah kata yang berasal dari bahasa Latin mores
yaitu jamak dari kata mos artinya adat kebiasaan.[3]
Dewey mengatakan
bahwa moral sebagai hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai susila.[4]
Dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia moral berarti penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan
kelakuan.[5] Selanjutnya dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English seperti dikutip oleh
Abuddin Nata[6] bahwa pengertian moral adalah
sebagai berikut :
1) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3) Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Jadi moral adalah istilah yang dipakai untuk memberikan batasan terhadap
aktifitas manusia dengan ketentuan baik atau buruk, benar atau salah. Ketentuan
baik dan buruk tersebut berdasarkan kesepakatan yang bersifat turun temurun dan
sudah menjadi bagian dari masyarakat tersebut, sehingga aturan yang berlaku
dapat juga berubah karena adanya perubahan zaman dan pergantian generasi.
[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,1991), cet. Ke-II,
Hal.232.
[2] Daradjat, Zakiah, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta :Bumi
Aksara,2004)Cet 5, hal.86
[3] Dr. C. Asri Budiningsih,
Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karaktristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta : PT.Rineka
Cipta,2004),cet.Ke-I,hal.24.
[4] Puskur Balitbang Diknas, Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran PAI SMP/MTs (Jakarta :Balitbang
Diknas,2006).
[5]Mansur,Amril. Etika dan
Pendidikan,Pekanbaru:LSFK2P,2005. hal.xiii
[6] Ibid., hal.xv
[7] Thoib, Ismail , Wacana Baru
Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta :Genta
Press,2008 ,hal 194.
[8] Muhmidayeli, Membangun
Paradigma Pendidikan Islam, Pekanbaru:Program Pascasarjana UIN Suska
Riau,2007, hal.156.
[9] Op.Cit. Amril M, hal.xviii
[10] Ibid.
[11] Ibid. hal. xxvii
Terimakasih informasinya
BalasHapusterimakasih.
BalasHapussalam,
bimbel matematika indonesia
Artikel yang hebat!
BalasHapusThankkksssss