Kamis, 27 Maret 2014

SUNAH-SUNAH TERBAIK ROSULULLAH

Allah telah memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa mentaati Rasulullah. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. An Nisa 80: “Siapa yang mentaati rasul berarti mentaati Allah” Ayat di atas merupakan perintah Allah untuk manusia, agar kita sentiasa meneladani perilaku hidup Rasulullah. Kita tau bahwa maksud tujuan hidup kita yang sesungguhnya adalah mengamalkan agama secara sempurna dengan mengikuti cara Rasullulah seperti yang di lakukan oleh para sahabat sehingga agama yang mulia ini ada di tengah-tengah kita. Perintah Allah di atas, bermakna pula bahwa siapa yang meninggalkan sunah-sunah rasulullah berarti meninggalkan agamaNya dan tidak mentaati Allah. Oleh karena itu, sebagai umat muslim, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh rasulullah. Tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan sunah-sunah rasul, karena kita tau bahwa di balik sunah itu pasti ada manfaat dan kebaikan untuk hidup kita di dunia maupun di akhirat. Jika kita sering kali mengabaikan sunah bahkan meninggalkanya dengan alasan sibuk karena perkara-perkara dunia yang sifatnya hanya sementara saja tanpa mengedepankan perkara akhirat yang selama-lamanya, maka sesungguhnya kita hanya akan menjadi orang-orang yang merugi dan kelak pasti akan menderita selama-lamanya. Berikut ini ada beberapa amalan sunah yang utama dan sangat penting serta sangat dianjurkan untuk kita tiru dan terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. 1. Shalat dimasjid dan berjemaah Banyak perintah untuk melaksanakan shalat berjemaah di masjid, karena adanya keutamaan yang sangat tinggi bagi orang-orang yang mau melaksanakannya. Sebagaimana hadits rasul berikut ini: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya menuju masjid dalam keadaan bersuci (telah berwudhu’) untuk melaksanakan shalat fardhu (berjama’ah), maka pahalanya seperti pahala orang yang melaksanakan haji dan ihram.” (HR.Tirmidzi) “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: 1.Imam yang adil, 2. Pemuda yang selalu beribadah kepada Rabb-nya, 3.Seseorang yang hatinya bergantung di masjid-masjid, 4.Dua orang yang saling mencintai karena Allah berkumpul dan berpisah karena-Nya, 5.Seseorang yang dinginkan (berzina) oleh wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, maka ia mengatakan,’ sesungguhnya aku takut kepada Allah’, 6.Seseorang yang bersadaqah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang di nafkahkan oleh tangan kanannya, dan 7.Seseorang yang mengingat Allah dalam keadaan sepi (sendiri) lalu kedua matanya berlinang.” (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa “Dan seseorang yang hatinya bergantung di masjid-masjid artinya adalah ia sangat mencintainya dan senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di dalam masjid.(Syarh an Nawawi VII/121). Adapun Al ‘Alamah al ‘Aini rahimahullah menjelaskan bahwa apa yang dapat dipetik dari sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassalam ini, “Didalamnya berisi keutamaan orang yang senantiasa berada di masjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah, karena masjid adalah rumah Allah dan rumah setiap orang yang bertakwa. Sudah sepatutnya siapa yang dikunjungi memuliakan orang yang berkunjung ; maka bagaimana halnya dengan Rabb Yang Maha Pemurah?”. 2. Shalat sunah a. Shalat sunah wudhu Shalat sunah wudhu adalah shalat sunah yang dikerjakan setelah selesai berwudhu, bilangannya sebanyak 2 rekaat atau lebih. Adapun keutamaannya dasarnya adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah berkata kepada Bilal setelah shalat subuh: “Wahai Bilal, ceritakan padaku amalan yang paling engkau andalkan dalam Islam. Sesungguhnya aku mendengar suara terompetmu dihadapanku dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidak ada amalan yang paling aku andalkan. Cuma tidaklah aku bersuci, baik pada siang ataupun malam hari, melainkan aku shalat setelah bersuci tersebut sebanyak kesempatan yang aku miliki.” (HR. Bukhori dan Muslim). b. Shalat sunah rawatib “Seorang hamba muslim yang melakukan shalat sunnah, karena Allah, (sebanyak) dua belas rakaat dalam setiap hari, Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah (istana) di surga.”(HR. Muslim No. 728). Dalam riwayat lain, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, menjelaskan bahwa “dua belas rakaat” yang disebutkan dalam hadits di atas, yaitu: empat rakaat sebelum shalat zhuhur dan dua rakaat sesudahnya, dua rakaat sesudah Magrib, dua rakaat sesudah Isya’ dan dua rakaat sebelum Subuh. c. Shalat sunah fajar “Dua rakaat shalat sunnah fajar (sebelum subuh) lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya.”(HR. Muslim nomor 725). Siapa yang shalat Fajar berjamaah, kemudian duduk untuk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka baginya bagaikan pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna." (HR. Tirmizi, no. 586) d. Shalat sunah duha “Pada setiap persendian kalian harus dikeluarkan sedekahnya setiap pagi; Setiap tasbih (membaca subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (membaca Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (membaca Lailaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (membaca Allahu Akbar) adalah sedekah, amar bil ma'ruf adalah sedekah, nahi ‘anil munkar adalah sedekah. Semua itu dapat terpenuhi dengan (shalat) dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha." (HR. Muslim, no. 1181) “Dari Abu Darda dan Abu Dzar radhiallahu anhuma dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dari Allah Azza wa Jalla, bahwa Dia berfirman, "Wahai anak Adam shalatlah empat rakaat di awal hari, Aku akan lindungi engkau hingga akhirnya." (HR. Tirmizi, no. 437, dishahihkan oleh Al-Albany) “Barangsiapa melakukan shalat Fajar, kemudian ia tetap duduk di tempat shalatnya sambil berdzikir hingga matahari terbit dan kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha sebanyak dua rakaat, niscaya Allah. akan mengharamkan api neraka untuk menyentuh atau membakar tubuhnya.” (H.R. Al-Baihaqi) Rasulullah Saw. dalam hadits qudsi dari Abu Darda. Firman-Nya, “Wahai Anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena aku pada awal siang (shalat Dhuha) empat rakaat, maka aku akan mencukupi (kebutuhan)mu sampai sore hari.” (H.R. Tirmidzi) Rasulullah Saw. bersabda, “Maukah aku tunjukan kepada kalian sesuatu yang lebih cepat dari selesai perangnya, lebih banyak (memperoleh) harta rampasan, dan cepatnya kembali (dari medan perang)? (Yaitu) orang yang berwudhu kemudian menuju masjid untuk mengerjakan shalat sunat Dhuha. Dialah yang lebih cepat selesai perangnya, lebih banyak (memperoleh) harta rampasan, dan lebih cepat kembalinya.’” (H.R. Ahmad) e. Shalat sunah tahajud “Dan pada sebagian malam bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’:79) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Dirikanlah shalat malam, karena sesungguhnya shalat malam itu adalah kebiasaan orang-orang shaleh sebelum kamu, (shalat malam dapat) mendekatkan kamu kepada tuhanmu, (shalat malam adalah) sebagai penebus perbuatan buruk, mencegah berbuat dosa, dan menghindarkan diri dari penyakit yang menyerang tubuh.” (HR. Ahmad) f. Shalat sunah witir "Jadikanlah witir akhir salat kalian di waktu malam". [HR. Bukhari] "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, maka witirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun di akhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya salat pada akhir malam masyhudah (disaksikan)" [HR. Muslim] Keutamaan salat witir, diantaranya, pertama hadits dari Kharijah bin Hudzafah Al-Adwi. Ia menceritakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menambahkan kalian dengan satu salat, yang salat itu lebih baik untuk dirimu dari pada unta yang merah, yakni salat witir. Waktu pelaksanaannya Allah berikan kepadamu dari sehabis Isya hingga terbit Fajar” Kedua, hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu‘anhu bahwa ia menceritakan : ”Rasulullah pernah berwitir, kemudian bersabda : “Wahai ahli Qur’an, lakukanlah salat witir, sesungguhnya Allah itu witir (ganjil) dan menyukai sesuatu yang ganjil”(HR.Abu Daud) 3. Puasa Sunah dan Macam-macamnya “Segala sesuatu itu ada zakatnya, sedang zakat jiwa itu adalah berpuasa. Dan puasa itu separuh dari kesabaran.” (H.R. Ibnu Majah). Dalam hadits lain disebutkan bahwa “Puasa adalah benteng yang membentengi seseorang dari api neraka yang membara.” (H.R. Ahmad dan Baihaqi). Ada beberapa macam puasa yang dianjurkan, antara lain yaitu : a. Puasa Senin dan Kamis Ketika Nabi kita (saw.) ditanya mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, beliau menjawab: “Ia adalah hari kelahiranku, hari aku diutus dan hari diturunkan Alquran kepadaku” (HR. Muslim). Pada hadits yang lain, Rasullullah pun bersabda: “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa:“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Allah dalam setiap pekan dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…” (HR. Muslim) b. Puasa 3 Hari Setiap Bulan Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan. Namun tidaklah benar anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa puasa pada hari putih adalah puasa dengan makan sahur hanya dengan nasi putih, telur putih, dan minum air putih saja. c. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah) d. Puasa Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak termasuk hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan diharamkan untuk berpuasa. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah 'alaihi ashshalatu wa assalam bersabda : "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzulhijjah." (Syarh Shahih Muslim : 8/320/1176). e. Puasa Hari Arofah Yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaan: “akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang” (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan jalan bertaubat. f. Puasa Muharram Yaitu puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya adalah bahwa puasa di bulan ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan (HR. Bukhori) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Puasa hari ‘Asyuura, saya memohon kepada Allah agar menjadikannya sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya.” (HR Muslim) g. Puasa Asyura Hari Asyura adalah hari ke-10 dari bulan Muharrom. Nabi sholallohu ‘alaihi wasssalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Asyura ini dan mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10. Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim). h. Puasa Sya’ban Disunnahkan memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Keutamaannya:”bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Robb semesta alam (HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan). i. Puasa pada Bulan Haram (bulan yang dihormati) Yaitu bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah pada bulan-bulan tersebut termasuk ibadah puasa. j. Puasa Nabi Daud Yaitu puasa sehari dan tidak puasa sehari. Kemudian dilakukan terus menerus secara selang seling, puasa sehari dan tidak puasa sehari. Keutamaannya adalah karena puasa ini adalah puasa yang paling disukai oleh Allah (HR. Bukhori-Muslim).

KEUTAMAAN MENELADANI ROSULULLAH

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS Al Ahzab : 21) Orang yang benar-benar beriman dan berserah diri mengetahui bahwa apa yang rasul contohkan adalah yang terbaik bagi manusia. Jika seseorang tidak menerapkan sikap dan akhlak yang menunjukkan ketaatan pada rasul, maka sesungguhnya ia tidak mentaati Allah. Oleh karena itu, maka janganlah setengah-setengah dalam melaksanakan sunahnya, karena sesungguhnya ketaatan itu ialah menyerahkan diri dengan sepenuh hati. Siapa yang berpegang pada al Quran dan sunah nabi maka pasti akan selamat. Seorang yang mempunyai idola tentu saja prilakunya tidak jauh dari sosok yang diidolakan. Berusaha menyukai hal-hal yang disukai idola, mengoleksi atribut-atribut yang ada hubungannya dengan idola, bahkan berusaha mati-matian berpola hidup seperti sang idola. Begitu pula ketika kita mengaku mengidolakan Rasulullah. Konsekuensinya tentu saja kita harus menghidupkan sunnah-sunnahnya baik berupa perbuatan, perkataan maupun penetapan beliau. Jangan mengaku mengidolakan Rasulullah jika membaca Al Qur'an saja masih jarang, sholat wajib masih sering bolong, atau bahkan lalai tidak tepat waktu dan tidak berjemaah dimasjid. Bermuka manis terhadap sesama saja terasa sulit. Bersedekah pun agak pelit. Suka gunjing sana-sini. Membicarakan aib saudaranya jadi kebiasaan . Semua hal tersebut tentu saja kontradiksi dari apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31) Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477). Banyak hadits yang menerangkan keutamaan dan ganjaran bagi orang-orang yang meneladani Rasulullah, salah satunya dari Ibnu Abbas Ra. bahwa Nabi SAW yang berkata: "Barangsiapa yang berpegang dengan sunnahku, ketika merata kerusakan pada ummatku, maka baginya pahala seratus orang yang mati syahid". (Riwayat Baihaqi). Semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya. Hanya orang-orang yang meneladani hidup rasul lah yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala). Orang-orang yang bersabar untuk mengikuti sunahnya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara benar dan berkelanjutan.

HIKMAH PENCIPTAAN MANUSIA

Saudaraku, pernahkah kita memikirkan ketiga pertanyaan ini “ darimana sesungguhnya manusia itu berasal, kemana ia akan kembali dan untuk apa ia hidup di dunia ini ? Manusia adalah makhluk yang dilengkapi Allah dengan sarana berfikir. Seseorang yang tidak mau berfikir, maka ia akan berada sangat jauh dari kebenaran dan ia juga akan menjalani sebuah kehidupan yang penuh dengan kepalsuan dan kesesatan. Bahkan akibat dari kemalasan berfikir lainnya yang sangat fatal ialah manusia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan dirinya, alam sekitarnya, dan arti keberadaan Allah sebagai Sang penciptanya. “Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia tidak ada sama sekali?" (QS. Maryam, 19: 66-67) Padahal, Allah telah menciptakan segala sesuatu untuk sebuah tujuan sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an: "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui." (QS. Ad-Dukhaan, 44: 38-39) Allah telah memberikan kesempatan pada manusia untuk hidup di dunia-Nya. Berfikir untuk kemudian mengambil pelajaran dari apa yang kita fikirkan sehingga kita akan mendapat kebenaran adalah sesuatu yang sangat bernilai untuk kehidupan akhirat kita kelak. Dengan alasan inilah, Allah mewajibkan seluruh manusia, melalui para Nabi dan Kitab-kitab-Nya, untuk memikirkan dan merenungkan penciptaan diri mereka sendiri dan jagad raya: "Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya." (QS. Ar-Ruum, 30: 8) Orang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan memiliki pola fikir yang berbeda ketika mereka mengetahui bahwa kenyataan hidup di dunia ini hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya tentang kehidupan dunia yang sementara akan mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan dan kerja keras untuk mencapai kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena ia tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, maka ia tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Karena itu ia juga menyadari bahwa tujuan Allah menciptakan dirinya sesungguhnya adalah untuk sentiasa mengabdi (beribadah) kepada Allah, sebagaimana firmanNya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS.Adz Dzaariyat 56) Kedua, Orang yang memahami bahwa tugas manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah semata, maka ia akan hidup dengan penuh sungguh-sungguh. Ia tidak akan lalai atau bermain-main terhadap kehidupan dunia. Ia sadar bahwa dirinya akan kembali pada Sang pencipta. Dengan sepenuh hatinya, ia juga akan menyadari bahwa Allah tidak menciptakan dirinya secara main-main. "Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. Al-Mu’minuun, 23:115) "Dan sesungguhnya tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Allahlah kamu dikembalikan” (QS. Al-Ankabuut, 29: 57-59). Bersandar pada kedua hal di atas, maka, manusia yang sadar dan faham akan tugasnya untuk beramal meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di akhirat, Ia akan menikmati keberkahan dan keindahan dunia dengan selalu optimis dan dekat kepada Allah. Secara sadar ia juga memahami bahwa sesungguhnya kehidupannya adalah ujian dan tempaan yang harus dilewati. “ Dia menguji kalian, siapa diantara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk: 2) Sungguh, hidup di dunia ini adalah ujian bagi manusia. Jika kita menyadarinya, maka sebenarnya dunia adalah musim untuk menanam dan akhirat adalah musim untuk memanen. Dunia adalah negeri untuk beramal dan akhirat adalah negeri untuk memetik hasilnya. Barang siapa yang ketika hidup di dunia banyak beramal baik, maka surga menjadi tempat baginya di akhirat kelak. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang ketika hidup di dunia banyak beramal jelek, maka tidak ada pembalasan melainkan seimbang dengan apa yang telah kita kerjakan. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 90) Maka berbekalah kamu, dan sebaik-baik bekal ialah taqwa. Dan berdoalah kepadaNya: Ya Rabbi, jadikan dunia ditanganku, dan jadikan akhirat dihatiku, agar aku tidak dilalaikan oleh kenikmatan duniaMu dan supaya aku ingat bahwa kenikmatan akhirat adalah anugrah terbesar yang akan Engkau berikan bagi hamba-hamba yang bertaqwa kepadaMu.

Rabu, 26 Maret 2014

MENJADI MUSLIM HEBAT(KAFFAH/SEMPURNA)

Agama Islam merupakan agama yang benar (QS.At-Taubah:33), agama yang lurus (Al-Bayyinah:5), agama yang sejalan dengan fitrah manusia (QS.Ar-Rum:30), dan agama yang diridhai oleh Allah Ta’ala (QS.Ali Imran:19). Firman Allah dalam (QS. Ali Imran 85)“Barang siapa mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi. Seorang yang beragama islam (muslim), sejatinya ia hendaklah taat dan berserah diri secara total kepada Allah dan RasulNya semata. Karena pada dasarnya arti kata “Islam” itu sebenarnya adalah tunduk, patuh kepada Allah, menyerahkan jiwa, semua miliknya, hidupnya, matinya dan semua amal perbuatannya semata-mata hanya untuk Allah, sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Hujurat: 15:”sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang percaya pada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwanya dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar”. Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim telah menyebutkan mengenai perincian rukun Iman dan rukun Islam,”Dari Umar radhiyallahu `anhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lututnya (Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam) seraya berkata, “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam: “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata, “anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang Iman“. Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudia dia berkata, “ anda benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau bersabda,“ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda,“ Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya ". Dia berkata,“Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda, “ Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin lagi penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya “,kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah shallahu`alaihi was salam) bertanya,“ Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. Aku berkata,“ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda,“ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“. (Riwayat Muslim) Hadits ini merupakan hadits yang sangat dalam maknanya. Karena di dalamnya terdapat pokok-pokok ajaran agama Islam yaitu iman, islam, dan ihsan. Di dalam hadits di atas telah disebutkan bahwa rukun iman ada 6, yaitu: beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari kiamat, qada’ dan qadarnya. Dan rukun Islam ada 5, yaitu : syahadatain, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang mampu. Tidak cukup bagi kita hanya berislam di KTP saja, atau mengetahui rukun iman dan rukun islam tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Al-Qur’an, orang yang sudah beragama Islam dituntut harus masuk ke dalam agama Islam secara kaffah (keseluruhan), jangan hanya patuh pada perintah Alquran dan sunnah secara sebagian atau sepotong-potong dan janganlah kita mengikuti langkah-langkah syetan yang suka menyesatkan manusia dari kebenaran.Sebagaimana Allah telah memperingatkan kita: “Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian kepada sebagian (yang lainnya)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian itu di antara kalian selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah: 85) “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan(Kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah:208) Ayat di atas bermakna bahwa berislam secara kaffah maknanya adalah berislam secara menyeluruh, dengan seluruh aspeknya, seluruh sisinya, baik yang terkait urusan iman, atau terkait dangan dengan akhlak, atau terkait dengan ibadah, atau terkait dangan mu’amalah, atau terkait dangan urusan pribadi, rumah tangga, masyarakat, negara, dan yang lainnya yang sudah diatur dalam Islam. Karena hanya dengan cara berislam secara total (kaffah), kesempurnaan dan kemuliaan manusia akan terwujud. Orang yang sudah berislam secara total dan imannya sudah tertanam mantap di hatinya maka ia akan memiliki ciri-ciri yaitu, hati dan fikirannya selalu diwarnai dengan ajaran Islam. Dalam setiap keputusan, ucapan dan tindakannya selalu berlandaskan ajaran Islam, sehingga yang menjadi kontrol dalam segala aktifitasnya adalah agama Islam yang sudah bersemayam di dalam nuraninya. Praktek seorang muslim yang total (kaffah) tidak hanya secara simbolik saja, tetapi ia juga perlu disertai dengan substansi yang benar. Secara simbolik (zhahir) berbagai amalan mereka yang nampak, baik dalam urusan ibadah, akhlak, maupun muamalah hendaknya sesuai dengan adab-adab dan aturan Islam. Ketika melaksanakan shalat, makan, tidur, ataupun dalam berpakaian, seluruhnya hendaklah sesuai dengan tuntunan Alquran dan sunnah. Adapun pelaksaannya secara subtansi (batin) yakni dalam keikhlasan, kebenaran dan kejujuran iman, sepatutnya dilakukan semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Disini perlu ditegaskan bahwa kedua-duanya sama pentingnya dalam mewujudkan Islam yang kaffah. Berislam secara kaffah akan menghasilkan sosok manusia yang sempurna, yaitu sosok manusia yang akal dan fikirnya cerdas, hatinya bersih dan berkualitas serta sehat seluruh ruhani dan jasmaninya. Akal dan fikir yang cerdas akan membuat mereka ingat pada kematian sehingga ia akan mengingat Allah baik sambil berdiri, duduk, maupun sambil berbaring . Hati yang bersih dan berkualitas akan menjadikan mereka pandai bersyukur dan memuji Allah, dan ruh serta jasmani yang sehat akan membuat meraka istiqmah dalam bersujud padaNya, baik di tengah malam maupun siang hari; Semua itu akan mewujudkan manusia yang dicintai dan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala. Maka sepantasnya bagi seseorang yang mengaku dirinya sebagai seorang muslim agar dengan lapang dada dalam menerima seluruh syariat Islam dan tidak membeda-bedakannya. Karena Islam adalah agama yang mengajarkan serta mengatur seluruh perkara yang dibutuhkan untuk perbaikan individu dan masyarakat, maka tentu ia akan membawa kebaikan dan keselamatan bagi kita, baik untuk kehidupan dunia, maupun akhirat. Inilah sifat seorang mukmin sebenarnya : “Ucapan seorang mukmin yang apabila mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka hanyalah, ‘Kami mendengar dan kami taat.’ Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur: 51) “ Ya Allah, Bagi-Mu segala puji; Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya; Engkau benar; janji-Mu benar; firman-Mu benar; dan bertemu dengan-Mu adalah benar. Ya Allah, kepada-Mu kami pasrah; dan kepada-Mu kami kembali (ber-taubat); semoga Engkau jadikan kami sebagai orang-orang yang benar dan beriman secara kaffah dan istiqamah, amiin.

PENTINGNYA MUSLIMAH BERPARTISIPASI DALAM POLITIK

Politik(siyasah) –dengan segala makna dasarnya berarti; mengatur, mendidik, menguasai, mengurus, dan memimpin- sangat jelas dia juga ada pada zona kehidupan manusia yang lain, bahkan da dalam rumah tangga, politik ada dalam dunia pendidikan, politik ada dalam dunia ekonomi, politik ada dalam kehidupan bertetangga, dan tentunya ada pula dalam dunia dakwah. Bahkan esensi dakwah adalah juga politik, sebab keduanya sama-sama upaya untuk mengatur, mendidik, mengurus, dan menguasai manusia dengan aturan-aturan Allah ta’ala. Setelah kita mengetahui kedudukan politik dalam Islam, bahwa dia juga merupakan ladang untuk beramal shalih. Maka, ladang ini merupakan ladang semua hamba Allah Ta’ala. Kewajiban beramal shalih tidaklah dibebankan untuk orang per orang saja tetapi semuanya. Tugas membenahi masyarakat, memperbaiki kehidupan, bukan hanya tugas laki-laki. Allah ta’ala berfirman: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [التوبة/71] “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-taubah : 71) Pembebanan syariat atas laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali memang hal-hal tertentu yang dikhusukan bagi kaum perempuan (seperti haid, sitihadhah, nifas, persalinan, penyusuan, dan warisan). Keudanya adalah sama-sama hamba Allah Ta’ala yang dituntut untuk mengabdi kepada Allah Ta’ala, amar ma’ruf nahi munkar, dan memakmurkan dunia. Keduanya pun dituntut untuk kerjasama sesuai firman-Nya: “sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” Kita melihat sendiri, tidaklah laki-laki munafiq menyerang Islam melainkan pasti di samping mereka ada perempuan munafiq yang mendukung mereka. Tidaklah laki-laki kafir menyerang Islam melainkan pasti di sampingnya perempuan kafir juga menyokong mereka. Tidaklah laki-laki sekuler menyerang agama, melainkan berdiri di sampingnya pula perempuan sekuler. Hal ini dengan jelas disebutkan oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala: الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [التوبة/67] “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. At-taubah : 67) Dalam ayat lainnya: وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ [الأنفال/73] “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal : 73) Maka, tuntutan saling menolong dalam kebaikan antara laki-laki dan perempuan, termasuk yang ada pada dunia politik, merupkan tuntutan syariat yang sangat jelas dan realistis. Peran Muslimah Pada Masa Awal Islam Pada masa-masa terbaiknya, Islam, justru menempatkan peran serta muslimah pada posisi yang sangat penting. Suara pertama yang mendukung dan membenarkan kenabiannya adalah suara wanita yakni Khadijah binti Khuwailid. Syuhada pertama dalam Islam adalah seorang wanita, yakni Sumayyah, ibu Ammar bin Yasir, yang dibunuh oleh Abu Jahal karena mempertahankan keislamannya. Ketika Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash-Shidiq RA bersembunyi di gua (Jabal Tsur), Asma binti Abu Bakar-lah yang bolak-balik membawakan makanan untuk mereka berdua, padahal kondisinya sedang hamil. Ketika perang Uhud, Ummu Salith adalah wanita yang paling sibuk membawakan tempat air untuk pasukan Islam, sebagaimana yang diceritakan Umar bin Khattab. Ummu Salith juga pernah berbai’at kepada Rasulullah SAW. Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya membuat enam bab tentang peran muslimah dalam peperangan yang dilakukan kaum laki-laki. 1. Bab Ghazwil Mar’ah fi Bahr (Peperangan kaum wanita di lautan) 2. Bab Hamli Ar-rajuli Imra’atahu fi Ghazwi duna ba’dhi Nisa'ihi (Laki-laki membawa istri dalam peperangan tanpa membawa istri lainnya) 3. Bab Ghazwin Nisa’ wa Qitalihinna ma’a Ar-Rijal (Peperangan wanita dan peperangan mereka bersama laki-laki) 4. Bab Hamli Nisa’ Al-Qiraba ilan Nas fil Ghazwi (Wanita membawa tempat minum kepada manusia dalam peperangan) 5. Bab Mudawatin Nisa’ Al-Jarha fil Ghazwi (Pengobatan wanita untuk yang terluka dalam peperangan) 6. Bab Raddin Nisa’ Al-Jarha wa Qatla ilal Madinah (Wanita memulangkan pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah) Selain Ummu Salith, kaum muslimah juga ikut berbai’at kepada Rasulullah SAW, seperti Ummu ‘Athiyah, Umaimah binti Ruqaiqah, dan kaum wanita Anshar. Sebagaimana yang diceritakan secara shahih oleh Imam An-Nasai. Masih banyak lagi peran muslimah pada masa awal seperti peran ketika hijrah ke Habasyah, peran dalam pendidikan, dan lainnya. Semuanya menunjukkan bahwa Islam menempatkan keduanya seimbang saling mengisi dan bekerjasama secara normal. Syubhat dan Jawabannya Ada beberapa syubhat (keraguan) yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk mencegah wanita keluar rumah dan mengambil hak-haknya secara syar'i. apalagi berpolitik dan berperan di parlemen, itu lebih haram lagi menurut mereka. Syubhat pertama: Wanita diperintah untuk tinggal di rumah Mereka berdalil dengan ayat: وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ [الأحزاب/33] “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” (QS. Al-Ahzab : 33) Ayat ini dijadikan alasan agar para muslimah tidak ke mana-mana, hanya di rumah saja. Pemahaman tersebut tertolak, karena lima hal: Pertama, ayat tersebut khusus bagi para istri Rasulullah SAW sebagaimana tertera dalam ayat sebelumnya: يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ [الأحزاب/32] “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,..” (QS. Al-Ahzab : 32). Meneladani istri nabi adalah keharusan, tetapi tidak berarti mencegah para wanita selain mereka untuk keluar rumah dalam rangka mengambil hak-haknya yang syar'i seperti menuntut ilmu, mengajar kaum wanita lain, berobat, berdakwah, ke pasar, mengunjungi famili dan orang tua, menjenguk orang sakit, dan lainnya. Taruhlah, ayat ini juga berlaku bagi semua wanita beriman, tapi itu –sekali lagi- bukan alasan untuk mencegah mereka untuk melakukan aktifitas syar'i yang perlu mereka lakukan. Kedua, para shahabiyah adalah kaum wanita yang paling bertaqwa kepada Allah Ta’ala, paling tahu adab, paling paham agama, dan paling meneladani istri nabi, dibanding wanita zaman ini. Namun demikian, mereka tetap ikut berjuang bersama laki-laki sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas, mereka mendatangi majlis ilmu bahkan nabi punya pertemuan di hari tertentu untuk mengajarkan mereka, mereka ikut berbai’at kepada Rasullullah SAW, dan aktifitas lainnya yang membutuhkan mereka harus keluar rumah bahkan berinteraksi dengan laki-laki. Para shahabiyah yang memiliki keahlian mengobati ketika berperang, tentu keahlian tersebut tidak datang dengan sendirinya melainkan mereka harus mencari ilmunya. Untuk zaman ini, para wanita harus belajar di fakultas kedokteran, apalagi keberadaan dokter muslimah sangat dibutuhkan untuk mengobati atau mengurus wanita muslimah yang ingin melahirkan. Ketiga, Aisyah RA, wanita yang paling faqih pada zamannya juga keluar rumah bahkan memimpin pasukan ketika konflik dengan Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal (unta). Beliau memimpin pasukan dari Madinah ke Bashrah, dan para shahabat nabi pun ada yang ikut rombongannya, dua orang diantaranya adalah shahabat yang tergolong dijamin masuk surga dan seorang lagi termasuk enam ahli syurGa yaitu Thalhah dan Az Zubair. Walau, akhirnya Aisyah menyesali ijtihadnya untuk menuntut kematian Utsman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib hingga pertumpahan darah sesama muslim. Aisyah (bersama ayahnya) pun pernah menjenguk Bilal bin Rabah ketika sakit (HR. Bukhari), oleh karena itu Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bolehnya wanita menjenguk laki-laki selama aman dari fitnah, dan beliau membuat bab tersendiri untuk masalah ini. Aisyah juga pernah nonton pertunjukan orang Habasyah ketika Idul Fitri bersama Rasulullah SAW. Kisah ini masyhur. Empat, keluarnya para wanita kafir, munafiq, dan sekuler, menuntut keluar pula para muslimah untuk melawan mereka, menahan pemikiran jahat mereka, dan membendung akhlak kotor mereka. Tidak cukup melawan mereka di dalam rumah sambil mematikan acara televisi yang buruk, atau menidurkan anak bercerita shahabat nabi, itu semua baik dan penting, namun tidak cukup. Fenomena penolakan RUU APP yang dilakukan oleh kaum wanita kafir (yakni kristen), munafiq, dan sekuler, semakin membuktikan betapa pentingnya kaum wanita muslimah mendampingi kaum laki-laki untuk melawan mereka secara umum. Kelima, melarang wanita keluar rumah adalah benar hanya pada kondisi tertentu, yakni ketika mereka dihukum karena kekejian (zina) yang mereka lakukan. Allah ta’ala berfirman: وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ [النساء/14] “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji [275], hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya” (QS. An-Nisa’ : 14) Syubhat kedua: Wanita bukan Pemimpin laki-laki Mereka menganggap wanita yang emnjadi anggota parlemen telah menjadi pemimpin bagi laki-laki. Pernyataan ini tertolak karena dua hal: Pertama, anggota dewan bukanlah pemimpin, bukan presiden, bukan perdana menteri, bukan pula kepala daerah, atau definisi apa pun yang bermakna pemimpin. Anggota dewan, sesuai dengan namanya, adalah wakil rakyat dari masing-masing daerah. Oleh karena itu parlemen dikenal dengan istilah Majlis An-Niyabah (Majelis perwakilan), bukan Majlis Imamah (majlis kepemimpinan). Mereka adalah pengawas pemerintah dan legislator (perumus undang-undang). Dalam Islam, fungsi pengawasan bisa diartikan dengan penegak amar ma’ruf nahi munkar dan pemberi nasihat, maka di sinilah letak pentingnya keberadaan para dai dan daiyah di sana. Telah masyhur kisah seorang wanita yang menasihati Khalifah Umar dalam hal pemberian mahar, dan kisah ini sanadnya dikatakan bagus oleh Imam Ibnu Katsir. Nabi SAW pun pernah mendapat masukan dari Ummu Salamah pada saat perjanjian Hudaibiyah dan langsung diterapkan Nabi SAW. Intinya wanita berhak memberikan masukan, nasihat, amar ma’ruf nahi mukar kepada pemimpin, baik dia sebagai rakyat biasa, apalagi sebagai anggota dewan yang memang itulah tugasnya. Sebagai fungsi legislator, tugas mereka bukan mencipta hukum dan undang-undang, sebab itu hanyalah hak Allah Ta’ala semata. Namun, yang mereka lakukan adalah merumuskan hukum dan undang-undang yang belum ada nashnya, atau masih nash umum yang masih membutuhkan perincian. Tugas ini (ijtihad/legislasi) bukanlah kekhususan buat laki-laki, melainkan untuk setiap muslim yang memiliki kecakapan. Ummul Mukminin Aisyah RA merupakanwanita mujtahid dan mufti di zamannya. Para shahabat nabi sering meminta penjelasan dalam berbagai hal kepadanya. Hal ini telah dihimpun oleh Imam Az-Zakrsayi dalam kitab Al-ijabah li istidrakati Aisyah ‘alash Shahabah, lalu diringkas oleh Imam As-Suyuthi dalam Ainul Ishabah. Memang, dalam sejarah masa lalu amat jarang wanita yang menjadi ahli ijtihad, namun saat ini banyak muslimah yang memiliki kecakapan seperti laki-laki, bahkan melebihinya. Syubhat ketiga: Sad Adz-Dzara'i (Pencegahan) Agar Wanita Terhindar dari Fitnah Ini adalah alasan selanjutnya. Mencegah diri dari potensi fitnah adalah baik dan mulia. Namun, berlebihan dalam pencegahan adalah sama halnya dengan sikap tanpa pencegahan, yaitu sama-sama menghilangkan maslahat, lalu lahirlah mudharat. Atau, bebas dari mudharat kecil dan pribadi, namun mengorbankan maslahat besar dan umum. Melarang wanita keluar rumah untuk ikut pemilu, atau kiprah politik lainnya dengan pelarangan itu maka hilanglah setengah (bahkan lebih) kekuatan (suara) umat Islam, atau hilang potensi kebaikan, hingga akhirnya kekalahan dan kelemahan dialami umat Islam. Maka, itulah fitnah yang sesungguhnya! Takut dengan fitnah pribadi yang akan dialami seorang wanita (alasan ‘fitnah’ ini pun masih bisa diperdebatkan), akhirnya mengorbankan kemaslahatan yang lebih besar dan jelas. Ini adalah penempatan sad adz dzarai (pencegahan) yang tidak pas. Tindakan ini memang harus diterapkan jika memang benar-benar terjadi fitnah yang jelas, bisa menghilangkan kemudharatan dan mendapatkan maslahat. Kita memiliki kaidah akhafu dharurain (memilih kerusakan yang lebih ringan diantara dua kerusakan). Inilah jalan yang kita tempuh jika berhadapan dengan kondisi seperti ini. Terjadinya fitnah karena keluarnya wanita adalah sebuah mudharat, namun kekalahan umat Islam atau kekalahan kekuatan kebaikan, karena suara wanita tidak diizinkan keluar, maka mudharat yang lebih besar lagi dan berkepanjangan. Selanjutnya, ini semua membutuhkan kejelian dan analisa yang mendalam. Peringatan Kiprah muslimah dalam dunia sosial dan politik bukanlah kiprah tanpa syarat dan catatan. Ada beberapa patokan syar'i yang tidak boleh ditinggalkannya. Semua ini demi kebaikan muslimah itu sendiri, dan menjadikan apa yang dilakukannya adalah benar-benar amal shalih yang diterima Allah SWT. 1. Aktifitas politik, khususnya parlemen hanya untuk wanita yang benar-benar layak, pantas, punya waktu luang, dan sedang tidak ada tugas domestik (kerumahtanggan) yang sangat sulit jika ditinggalkan, seperti menyusui, dan memiliki anak-anak yang masih butuh perhatian kasih sayang, dan pendidikannya. Memaksakan kehendak dalam hal ini, sama juga mengorbankan masa depan mereka, bahkan masa depan sepenggal generasi manusia, dan khianat terhadap amanah (sebab anak adalah amanah). Maka, tidak semua wanita dibenarkan untuk menjadi anggota parlemen, namun mereka masih bisa berkiprah pada kehidupan sosial politik lainnya yang lebih mungkin. 2. Tidak melupakan tugas asasinya sebagai istri dari suaminya, dan ibu bagi anak-anaknya 3. Tetap teguh memegang prinsip-prinsip akhlak Islam: menutup aurat secara sempurna, tidak bersolek seperti wanita jahiliyah, tidak mendayu-dayu dalam bicara, tidak berduaan dengan laki-laki bukan mahram, dan menjauhi ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki yang tidak diperlukan. 4. Meluruskan niat, bahwa yang dilakukan adalah untuk mencari ridha Allah ta’ala, dakwah Ilallah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bukan karena kekayaan dan popularitas. Wallaahu a’lam. Semoga para muslimah bisa menegakkan nilai-nilai Islam dalam bidang politik Indonesia, amiin.

SOSOK PEMIMPIN IDEAL

Banyak orang salah paham tentang kepemimpinan. Sebagian mengira bahwa yang penting dalam memimpin adalah bagaimana membuat rakyat sejahtera secara materi. Bila ini target yang diperjuangkan pemimpin, maka ia akan menjadikan kegiatan pokoknya semata mengejar materi. Pemasukan negara ditingkatkan. Adapun sisi lainnya seperti moral dan agama diabaikan. Akibatnya rakyat menjadi kaya secara materi namun kering dari segi ruhani. Penelitian membuktikan bahwa banyaj rakyat yang hidup di negara-negara kaya menderita secara psikologis. Padahal mereka dari segi materi terpenuhi. Diantara penyakit yang banyak menimpa masyarakat kaya adalah bunuh diri. Ini menunjukkan bahwa kekayaan secara materi bukan satu-satunya target kepemimpinan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang penting adalah bagaimana membuat negara menjadi maju secara teknologi. Ini juga tidak menjamin kebahagiaan rakyatnya. Teknologi bukan segala-galanya bagi kemanusiaan. Bahkan boleh jadi kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan pembangunan moral justru akan melahirkan bencana bagi manusia. Tidak sedikit masyarakat yang maju secara teknologi, mereka mengalami berbagai penderitaan. Banyak teknologi digunakan untuk membunuh dan berbuat jahat. Dari sini nampak bahwa kepemimpinan bukan hanya berpikir tentang teknologi melainkan harus berpikir secara utuh bagaimana menyelamatkan kemanusiaan dalam negerinya. Sebagian yang lain melihat bahwa yang penting bagaimana membuat negara menjadi kuat dan ditakuti oleh negara-negara lain. Pemimpin seperti ini cenderung akan sibuk memperhatikan pembangunan militernya. Dan biasanya dia tidak akan perhitungan untuk berkorban demi peningkatan persenjataan. Tidak hanya itu ia akan berusahan untuk menakut-nakuti negara lain supaya tunduk di bawahnya. Dalam dirinya tertanam kerakusan untuk berkuasa. Pemimpin seperti ini hadir bukan membawa rahmat, melainkan membawa ancaman bagi kemanusiaan. Kita tidak butuh pemimpin seperti yang kita gambarkan di atas. Kita butuh pemimpin yang bertanggungjawab, adil dan jujur. Sebab persepsi kepemimpinan yang kita gambarkan tadi adalah persepsi materialisme. Sementara manusia bukan hanya makhluk materi melainkan juga ruhani. Karena itu sosok kepemimpinan yang baik dan membawa rahmat bukan terletak pada idealisme materialistik yang menggebu-gebu, melainkan terletak pada kepribadiannya yang penuh tanggung jawab. Berbagai contoh kepemimpinan bermunculan dalam sejarah. Namun yang paling berhasil bukan karena kekayaan negerinya, melainkan karena kejujurannya dan tanggung jawabnya yang tinggi. Dari sini kita ambil kesimpulan bahwa masalah pemimpin adalah masalah moral, sekaligus masalah iman. Sebab semakin kuat iman seorang pemimpin pasti akan semakin baik moralnya. Bila moralnya baik, maka rakyatnya pasti sejahtera. Wallaahu a’lam bish shawab.